Kolom Prof Tjandra: 5 Upaya Menurunkan Kasus COVID-19

Prof Tjandra Yoga Aditama.
Sumber :
  • Istimewa

VIVA – Dalam beberapa waktu ini, angka COVID-19 terus meningkat kembali. Kementerian Kesehatan menyampaikan bahwa diperkirakan puncak kasus akan terjadi pada akhir bulan Juni 2021 dan masih akan tinggi sampai bulan Juli 2021.

Tingginya kasus COVID-19 bukan hanya akan punya dampak pada mereka yang sakit dan keluarganya, tetapi juga berdampak pada sistem pelayanan kesehatan, aspek sosial ekonomi dan sendi kehidupan lainnya, sehingga kenaikan kasus perlu dikendalikan dan diturunkan, antara lain dengan lima langkah di bawah ini.

Pertama adalah pembatasan sosial, yang di banyak negara sudah terbukti menurunkan jumlah kasus pada saat kasus memang sedang tinggi-tingginya. Pembatasan sosial dapat dilihat dari 3 faktor, luas daerahnya, jenis pembatasannya dan lama pelaksanaannya.

Pembatasan sosial dapat saja hanya amat terbatas, atau sedikit lebih luas, atau memang luas sampai kepada lockdown total.

Untuk menilai keputusan mana yang akan dipilih maka seyogyanya dilakukan Analisis Indikator Risiko yang juga dianjurkan oleh WHO, yaitu me-matriks-kan seberapa besar pola penularan di masyarakat dengan kapasitas respon yang ada.

Harus dilihat keadaan sekarang dan potensi yang mungkin terjadi, “what’s going on, what can go wrong and what should be done”. Dalam hal ini maka tentu kepatuhan pada 3M juga harus terus dijaga.

Hal kedua adalah meningkatkan secara maksimal pelaksanaan tes dan telusur (“test and tracing”). Mungkin saja angka tes secara nasional nampaknya sudah sesuai standar WHO, tapi mungkin saja ada propinsi yang amat tinggi cakupannya dan ada juga yang amat rendah.

Artinya, jumlah tes harus dilakukan sesuai standar WHO pada setidaknya setiap Kabupaten/Kota secara merata.

Dengan jumlah tes dan telusur yang memadai maka semua kemungkinan kasus akan ditemukan (walaupun tanpa gejala), ditangani dan diisolasi/dikarantina untuk memutus rantai penularan. Kalau tes dan telusur terbatas maka masalah tidak akan selesai-selesai karena penularan di masyarakat terus saja terjadi.

Upaya ketiga memang adalah penyiapan fasilitas pelayanan kesehatan, baik di Rumah Sakit maupun juga di pelayanan kesehatan primer. Yang disiapkan bukan hanya ruang isolasi dan ICU, alat dan obat, sarana dan prasarana lain, tetapi yang paling penting adalah SDM petugas kesehatan.

Mereka jumlahnya harus memadai dan mendapat perlindungan maksimal dalam melaksanakan tugasnya, karena kalau mereka jatuh sakit maka buka hanya beban bagi keluarganya tetapi juga pelayanan kesehatan ke masyarakat jadi terganggu. Tidaklah tepat kalau hanya menambah ruang rawat tanpa diiringi penambahan petugas kesehatan.

Hal keempat adalah kepastian tersedianya data yang akurat dan selalu update. Analisa data ini juga harus dilakukan dengan dasar ilmu pengetahuan yang baik dan bijak. Hal ini sangat diperlukan agar penentu kebijakan publik dapat membuat keputusan yang berbasis bukti ilmiah yang tetap, “evidence-based decision making process”.

Upaya kelima adalah pemberian vaksinasi ke publik secara maksimal. Memang vaksinasi tidak akan secara cepat menurunkan angka kasus yang sedang tinggi di suatu tempat, tetapi jelas vaksinasi –juga pengalaman dari berbagai negara lain- akan berperan amat penting dalam pengendalian pandemi.

Harus diingat juga bahwa untuk menentukan berapa jumlah orang yang harus divaksin agar tercapai kekebalan komunal (‘Herds Immunity’) maka akan tergantung dari angka reproduksi penyakit dan juga efektivitas vaksin.

Kalau angka reproduksi meningkat dan juga efektivitas vaksin menurun (misalnya karena varian baru), maka jumlah orang yang harus divaksin perlu lebih banyak lagi untuk dapat memperoleh kekebalan komunal (‘Herds Immunity’). Jadi dalam situasi sekarang maka angkanya mungkin perlu
dihitung ulang.

Prof Tjandra Yoga Aditama

Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI/ Guru Besar FKUI
Mantan Direktur WHO Asia Tenggara dan Mantan Dirjen P2P & Ka Balitbangkes