Endometriosis Intai 5 Persen Perempuan Muda di Indonesia
- U-Report
VIVA – Endometriosis merupakan salah satu gangguan pada organ reproduksi perempuan. Namun, banyak pasien yang mengidap endometriosis kerap mengabaikan gejalanya sehingga terlambat didiagnosis.
Dikatakan Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan, Konsultan Fertilitas, Endokrinologi dan Reproduksi, Dr. dr. Andon Hestiantoro, SpOG(K), MPH, Setidaknya 5 dari 100 perempuan usia produktif di Indonesia serta 1 dari 10 perempuan di Asia, mengalami endometriosis.
"Sayangnya, sebagian besar pasien endometriosis di Indonesia mengalami keterlambatan penegakan diagnosis 9 sampai 10 tahun. Dapat dikatakan, mereka sudah menderita endometriosis namun tidak mengetahuinya lebih awal," kata Dokter Peniliti Utama penelitian ENVISIOeN di Indonesia, dalam acara virtual bersama Bayer, Senin 14 Juni 2021.
Merujuk pada data RSCM tahun 2010 – 2011, sebanyak 43.4% pasien endometriosis merasakan nyeri berat yang berakibat tidak dapat beraktivitas sehari–hari, 36.7% merasa nyeri derajat sedang dengan keterbatasan aktivitas sehari–hari, dan 20% pasien dengan nyeri derajat ringan.
Endometriosis juga merupakan salah satu penyebab gangguan kesuburan tersering pada pasangan yang belum memiliki keturunan.
“Oleh karena itu, mengenali tanda-tanda Endometriosis sejak dini merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam penanganan kasus endometriosis yang sangat kompleks,“ kata dokter spesialis kandungan, Prof. Dr. dr. Budi Wiweko, SpOG (K), MPH, dalam kesempatan yang sama.
Endometriosis dikatakan sebagai penyakit yang bergantung pada estrogen sehingga pengobatan yang diberikan salah satu pilihannya adalah menggunakan obat yang menekan hormon.
Pemberian pengobatan yang diberikan kepada pasien pun perlu mempertimbangkan sejumlah aspek seperti efektivitas, biaya, dan preferensi pasien.
"Penatalaksanaan endometriosis hingga kini prinsipnya terdiri dari 2 pilihan yaitu konservatif dan bedah. Setiap tata laksana memiliki indikasi yang berbeda, seperti usia pasien, ada atau tidaknya massa, serta pertimbangan keinginan untuk memiliki anak," tutur dokter Andon.
Terkait pentingnya pemberdayaan pasien (Patient Empowerment), Wenny Aurelia, pendiri komunitas Endometriosis Indonesia menyatakan, endometriosis merupakan penyakit yang butuh kesabaran dan kepatuhan dalam menjalani pengobatan.
Dalam menjalankan terapinya tersebut, mereka sangat butuh dukungan dari sesama pasien sehingga mereka tidak merasa sendirian dalam berjuang melawan Endometriosis.
“Oleh sebab itu, kami berharap dengan berdirinya Endometriosis Indonesia pada 2015, komunitas ini bisa menjadi wadah berdiskusi, saling memberikan informasi yang benar tentang Endometriosis, sharing tentang pengalaman dan Dokter-Dokter yang berpengalaman di bidang ini, dan yang paling penting sebagai wadah untuk saling support antar pasien,” kata dia.