Bahan Impor Tak Steril, BPOM Ungkap 5 Kejanggalan Vaksin Nusantara
- vstory
VIVA – Penelitian vaksin Sel Dendritik atau yang dikenal sebagai vaksin Nusantara tak mendapat restu untuk melanjutkan uji klinis selanjutnya oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) RI. Dalam inspeksinya, BPOM RI menemukan beberapa kejanggalan terhadap vaksin yang digagas oleh mantan Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto.
Vaksin tersebut tertulis bahwa dilakukan oleh tim peneliti dari Balitbangkes Kementerian Kesehatan, RSPAD Gatot Subroto, RSUP Dr. Kariadi dan Universitas Diponegoro. Penelitian ini disponsori oleh PT. Rama Emerald/PT. AIVITA Indonesia bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), Kementerian Kesehatan. Namun faktanya, BPOM menemukan adanya campur tangan peneltii asing hingga bahan impor. Berikut penemuannya.
Bahan impor
Vaksin Nusantara merupakan vaksin yang menggunakan campuran 3 bahan. Pertama, Sel dendritik yang diperoleh dari darah masing-masing orang. Kedua, Antigen SARS COV-2 Spike Protein produksi Lake Pharma, CA, USA. Ketiga, GMCSF (Sarmogastrim) suatu growth factor yang diproduksi oleh Sanofi - USA.
Proses pengolahan sel dendritik dikembangkan oleh AIVITA Biomedical Inc. USA yang membutuhkan tenaga terlatih. Pada pelaksanaan uji klinik pengolahan sel tersebut dilakukan oleh tim dari AIVITA Biomedical Inc. USA.
"Semua pertanyaan dijawab oleh peneliti dari AIVITA Biomedica Inc, USA, dimana dalam protokol tidak tercantum nama peneliti tersebut. Peneliti utama: Dr. Djoko(RSPAD Gatot Subroto) dan dr. Karyana (Balitbangkes) tidak dapat menjawab proses-proses yang berjalan karena tidak mengikuti jalannya penelitian," ujar Kepala BPOM Penny K Lukito, dalam keterangan tertulisnya.
Proses pembuatan vaksin sel dendritik dilakukan oleh peneliti dari AIVITA Biomedica Inc, USA, meskipun dilakukan training kepada staf di RS. Kariadi tetapi pada pelaksanaannya dilakukan oleh dari AIVITA Biomedica Inc, USA. Ada beberapa komponen tambahan dalam sediaan vaksin yang tidak diketahui isinya dan tim dari RS. Kariadi tidak memahami.
Minim transparansi
Tercatat, pengajuan uji klinik fase 1 dilakukan pada tanggal 30 November 2020, namun tidak disertai dengan data pengujian pre klinik. Untuk itu Badan POM meminta peneliti untuk menyerahkan laporan studi toksisitas, imunogenisitas, penggunaan adjuvan, dan studi lain yang mendukung pemilihan dosis dan rute pemberian, mengingat produk jadi mengandung Spike SARS-CoV-2 yang diperoleh terpisah dari sel dendritik.
"Namun permintaan tersebut tidak dipenuhi oleh peneliti dan sponsor dengan justifikasi: penggunaan sel dendritik sudah lama digunakan dan aman pada manusia, bersifat autologous dan tidak menggunakan zat tambahan lain. Dosis dan toksisitas merujuk pada hasil uji klinik untuk indikasi lain," kata Penny.
Hal ini tidak sesuai karena sel dendritik yang selama ini digunakan adalah untuk terapi kanker bukan untuk vaksin atau pencegahan penyakit. Selain itu penggunaan sel dendritik pada vaksin ditambahkan Antigen virus (bagian dari virus SARS CoV-2) dan zat tambahan lainnya untuk menjadikan sel dendritik tersebut menjadi vaksin.
Tidak steril
Pantauan BPOM, produk vaksin dendritik tidak dibuat dalam kondisi yang steril. Dikatakan pembuatan vaksin secara close system, tetapi pada kenyataannya setelah diminta menjelaskan proses pembuatannya semua dilakukan secara manual dan open system.
Selain itu, produk antigen SARS CoV-2 yang digunakan sebagai bahan utama pembuatan vaksin dendritik ini bukan merupakan Pharmaceutical grade, dan dinyatakan oleh produsen (Lake Pharma-USA) bahwa tidak dijamin sterilitasnya. Antigen tersebut penggunaannya hanya untuk riset di laboratorium bukan untuk diberikan kepada manusia.
"Hasil produk pengolahan sel dendritik yang menjadi vaksin tidak dilakukan pengujian sterilitas dengan benar sebelum diberikan kepada manusia. Hal tersebut berpotensi memasukkan produk yang tidak steril dan menyebabkan risiko infeksi bakteri pada penerima vaksin," ujarnya.
Keamanan belum maksimal
Penemuan BPOM lainnya yakni hanya terdapat data keamanan pada organ limpa namun tidak terdapat data untuk organ utama lainnya seperti jantung, hati, ginjal, paru dan otak. Selain itu tidak dilakukan studi toksisitas akut yang bertujuan untuk menilai batas maksimum dosis yang dapat ditoleransi pada hewan. Hal ini penting sekali untuk memprediksikan dosis vaksin yang aman pada manusia.
"Uji non klinik hanya dilakukan pada satu jenis hewan uji (mencit) sehingga tidak dapat diambil kesimpulan terkait keamanan dan imunogenisitas produk uji," terang Penny.
Kejadian tidak diinginkan
"Sebanyak 20 dari 28 subjek (71.4%) mengalami Kejadian yang Tidak Diinginkan, meskipun dalam grade 1 dan 2," tegas Penny.
Seluruh subjek mengalami Kejadian yang Tidak Diinginkan (KTD) pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 500 mcg dan lebih banyak dibandingkan pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 250 mcg dan tanpa adjuvant. Kejadian yang Tidak Diinginkan (KTD) yang terjadi adalah nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, penebalan, kemerahan, gatal, ptechiae, lemas, mual, demam, batuk, pilek dan gatal.
Terdapat Kejadian yang Tidak Diinginkan grade 3 pada 6 subjek dengan rincian yaitu 1 subjek mengalami hipernatremi, 2 subjek mengalami peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN) dan 3 subjek mengalami peningkatan kolesterol.
Kejadian yang Tidak Diinginkan grade 3 merupakan salah satu pada kriteria penghentian pelaksanaan uji klinik yang tercantum pada protokol uji klinik, namun berdasarkan informasi Tim Peneliti saat inspeksi yang dilakukan Badan POM, tidak dilakukan penghentian pelaksanaan uji klinik dan analisis yang dilakukan oleh Tim Peneliti terkait kejadian tersebut.
"Sebaiknya penelitian ini dikembangkan dahulu di pre klinik sebelum masuk ke uji klinik untuk mendapatkan basic concept yang jelas, sehingga pada uji klinik di manusia bukan merupakan percobaan yang belum pasti," tutur Penny.