Kolom Prof Tjandra Yoga: COVID-19, Dapatkah Terinfeksi Berulang?

Profesor Tjandra Yoga Aditama
Sumber :
  • istimewa

VIVA – Banyak yang bertanya, apakah sesudah sembuh COVID-19 maka seseorang dapat kembali terinfeksi dan lalu jadi sakit lagi? Hal ini cukup banyak dibahas para ahli, dan setidaknya ada 5 aspek yang dapat dijelaskan di sini.

Aspek pertama, memang sudah terbukti bahwa seseorang yang sudah sembuh ternyata lbisa tertular dan sakit lagi, artinya re-infeksi. Tadinya hal ini diragukan, jangan-jangan sakit yang ke dua itu berhubungan dengan saat sakit yang pertama, maksudnya jangan-jangan sakit yang pertama yang virusnya masih ada dalam tubuh pasien dan lalu bangkit dan aktif lagi. Dalam bahasa kedokteran maka ini jangan-jangan proses penyakit laten dan atau reaktifasi, bukan infeksi ulangan. Tapi data laporan kasus ternyata menunjukkan hal yang berbeda. 

Dari kasus-kasus yang dilaporkan di dunia maka biasanya seseorang sakit, PCR (+), lalu sembuh dan PCR nya negatif, dan setelah sekian bulan lalu PCR nya positif lagi. Untuk lebih meyakinkan maka para ahli bahkan sudah dapat memastikan bahwa virus yang pertama menyerang pasien adalah “berbeda” dengan virus pada serangan ke dua. Maksudnya, tentunya sama-sama virus penyebab COVID-19 tapi karakteristiknya berbeda. 

Pada laporan kasus pertama re-infeksi di dunia misalnya, terjadi di Hong Kong, maka ada perbedaan dalam 24 nukleotida dan 8 protein asam amino antara virus pertama yang menyebabkan sakit pada Maret 2020 dan sakit ke dua pada 4,5 bulan sesudahnya. Beberapa kasus yang lain juga menunjukan hal serupa, jadi ini benar-benar infeksi ulangan, re-infeksi, dua kali serangan COVID-19 pada orang yang sama.

Hal ke dua adalah seberapa sering fenomena ini terjadi? Sampai akhir Oktober 2020 maka jumlah pasien yang sampai sakit dua kali di dunia tidak sampai 30 orang, padahal jumlah semua COVID-19 sudah lebih dari 40 juta orang. Artinya, memang kasusnya masih amat jarang, atau setidaknya yang tercatat masih amat jarang, dan ini sesuai dengan penyataan World Health Organization (WHO)  dan juga CDC (Center of Disease Control) Atlanta Amerika Serikat. Kendati demikian, semua pihak perlu waspada dan memonitor fenomena ini dengan seksama. Sejauh ini laporan kasus antara lain dari Hong Kong, Amerika Serikat, Belanda, Belgia, Ekuador, India dll.

Aspek ke tiga, seberapa berat sakit yang ke dua dibandingkan dengan yang pertama. Untuk menjawab ini maka data ilmiah masih terbatas. Ada memang yang serangan sakit keduanya ringan juga, ada yang lebih berat dan bahkan pada seorang pasien berumur 89 tahun maka serangan COVID-19 yang kedua dialaminya berakhir dengan meninggal dunia. Kita masih harus menunggu laporan ilmiah lanjutan untuk mengetahui bagaimana serangan ke dua dibandingkan dengan yang pertama. 

Ke empat, dengan terbuktinya bahwa seseorang bisa sakit dua kali dalam jarak beberapa bulan, maka orang jadi bertanya tentang berapa lama kekebalan bertahan. Rupanya walau seorang sudah sakit COVID-19 dan lalu dalam tubuhnya ada antibodi tapi ternyata kadar antibodinya lalu turun hingga dapat terserang lagi untuk ke dua kalinya. Memang sebagian data menunjukkan hal itu. Di Inggris juga sudah dilakukan penelitian prospektif yang mengamati beberapa ribu orang dan ternyata angka positivitas antibodi turun setelah 3 bulan pengamatan. Memang hal ini masih perlu penelitian yang lebih dalam lagi, tapi setidaknya memberi gambaran bahwa antibodi COVID-19 mungkin tidak bertahan terlalu lama, yang disebut “short lived”.
 
Hal ke empat di atas berhubungan langsung dengan aspek ke lima pembahasan re-infeksi COVID-19 ini, yaitu dengan vaksin yang sekarang sedang di uji klinik di berbagai negara. Pertanyaannya, kalau antibodi tidak bertahan lama maka bagaimana kalau seseorang sudah disuntik vaksin, apakah akan bisa kebal seumur hidup, atau kebal beberapa tahun, atau lebih singkat dari itu. Nah, ada dua hal yang dapat menjawabnya. Pertama, kekebalan yang didapat akibat diberikan vaksin bisa saja dibuat lebih baik katimbang kekebalan alamiah yang didapat akibat sakit, karena  waktu membuat vaksin maka dirancang spesifikasi sedemikan rupa agar kekebalan yang ditimbulkan dapat lebih baik. 

Hal ke dua, kepastian apakah antibodi akibat vaksin akan lama bertahan lama atau tidak saat ini sedang dinilai pada uji klinik fase tiga yang sedang berjalan, jadi akan baik kalau kita tinggu hasil uji klinik dan kemudian mengambil keputusan sesudah data lengkap dimiliki. Kalau toh akan diambil kebijakan Emergency Use of Authorization (EUA) maka diperlukan waktu setidaknya sekitar 2 bulan setelah penyuntikan pada relawan untuk mengamati kadar antibodi dalan tubuhnya.

Kini para ahli di dunia masih terus mengamati perkembangan infeksi ulangan (re-infeksi) COVID-19. Beberapa organisasi , seperti WHO Pan American dan ECDC (European Center of Disease Control) sudah membuat kriteria bagaimana menyatakan seseorang terinfeksi ulang atau tidak. Yang harus dinilai antara lain ada bukti pasti (dengan PCR) bahwa seseorang itu pernah sakit, lalu bukti lagi bahwa dia memang sudah pernah sembuh, lalu dipastikan ada PCR lagi yang positif sesudah sekian bulan dan sebaiknya di sertai pemeriksaan genomik yang menganalisa jenis virus pada serangan pertama dan serangan ke dua.

Memang masih banyak yang perlu kita pelajari dan tangani dari COVID-19 ini. Mengikuti perkembangan ilmiah dengan baik merupakan salah satu bentuk pemahaman yang perlu kita lakukan bersama, sebagian bagian tidak terpisahkan dari penanggulangan COVID-19 di Indonesia dan di dunia. 

Prof Tjandra Yoga Aditama
Guru Besar Paru FKUI. Mantan Direktur WHO SEARO dan Mantan Dirjen P2P & Ka Balitbangkes

Seperti diketahui, saat ini kasus COVID-19 masih tinggi. Untuk itu selalu patuhi protokol kesehatan dan lakukan 3M: Memakai Masker, Menjaga Jarak serta Mencuci Tangan.

#ingatpesanibu
#jagajarak
#cucitanganpakaisabun
#pakaimasker
#satgascovid19