Mana Lebih Efektif, Rapid Test atau Swab Test?

Pemain Persib Bandung jalani tes virus corona.
Sumber :
  • VIVA/Dede Idrus

VIVA – Hingga Jumat 24 Juli 2020, kasus virus corona di Indonesia terus meningkat. Dari data diketahui ada penambahan kasus konfirmasi positif COVID-19 sebanyak 1.761 kasus. Sehingga total kasus positif COVID-19 di Tanah Air mencapai 95.418 kasus.

Dari data diketahui ada penambahan 89 kasus meninggal akibat COVID-19. Sehingga total orang yang meninggal akibat COVID-19 di Tanah Air mencapai 4.665 orang. Sedangkan pasien sembuh per Jumat 24 Juli kemarin bertambah sebanyak 1.781 orang sehingga total pasien sembuh mencapai 53.945 orang.

Baca jugaVirus Corona Lebih Banyak Menular di Dalam Rumah

Meningkatnya kasus corona di Indonesia membuat tidak sedikit masyarakat yang kemudian ramai-ramai melakukan tes corona untuk memastikan apakah mereka terpapar virus corona. Tes untuk mendeteksi infeksi virus corona penyebab COVID-19 menggunakan metode PCR (Polymerase Chain Reaction), atau biasa disebut dengan tes swab. Selain itu, ada pula metode rapid test.

Lalu, manakah dari kedua tes tersebut yang lebih akurat untuk mendeteksi virus COVID-19? Spesialis Paru, dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K) menjelaskan bahwa sejak awal ditemukannya kasus COVID-19 di Indonesia pada Maret lalu, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) standar pemeriksaan diagnosis COVID-19 ini berbasis pada pemeriksaan PCR dari swab tenggorokan, swab hidung atau saluran napas dengan pemeriksaan RT PCR.

"Kalau ditemukan positif PCR-nya SARS-Cov-2 maka itu dikatakan COVID-19," kata dia Sabtu, 25 Juli 2020.

Selain, menggunakan PCR, Agus menyebut pemeriksaan untuk mendiagnosis COVID-19 juga bisa dilakukan dengan menggunakan PCR berbasis Tes Cepat Molekuler (TCM). Pemeriksaan pada TCM ini menggunakan dahak dengan amplifikasi asam nukleat berbasis cartridge. Tes ini akan mengidentifikasi RNA pada virus corona pada mesin yang menggunakan cartridge khusus yang bisa mendeteksi virus ini.

"Dengan PCR ini mendeteksi DNA virus tersebut untuk langsung tau komponen virus yang dideteksi itu. Jadi memang standarnya itu dan tidak bisa ditawar-tawar dari awal WHO statement kemudian keluar pedoman protokol organisasi profesi maupun Kementerian Kesehatan sebenarnya untuk diagnosis menggunakan PCR," kata dia.

Sedangkan rapid test, pada dasarnya berbeda dengan PCR. Pemeriksaan rapid test ini digunakan untuk mendeteksi antibodi yaitu lgM dan lgG, yang diproduksi tubuh untuk melawan virus corona. Agus menjelaskan, Rapid test yang biasa dipakai adalah rapid test berbasis antibodi yang sampelnya diambil dari darah. Sampel darah nantinya diperiksa untuk mengetahui antibodi seseorang terhadap virus COVID-19.

Baca juga: Pemeriksaan Suhu Tubuh Ternyata Tidak Efektif Deteksi COVID-19

Namun, Agus menjelaskan, PDPI sendiri sejak awal tidak merekomendasikan penggunaan rapid test baik untuk skrining ataupun diagnostik. Karena, rapid test memiliki kelemahan, yakni bisa menghasilkan 'false negative' yakni ketika hasil tes tampak negatif meski sebenarnya positif. Ini terjadi jika rapid test dilakukan kurang dari 7 hari setelah terinfeksi.

"Padahal antibodi kan diperiksa belum tentu terbentuk atau bahkan tidak terbentuk sehingga tidak terdeteksi. Jadi bisa saja seseorang terinfeksi hari ini kemudian belum muncul gejala, kalau teorinya dia muncul antibodi muncul hari ke 7 hingga hari ke-10. Diantara hari ke 0 hingga ke 7 seseorang terinfeksi tidak akan terdeteksi antibodi sehingga menjadi false negatif itu kekurangannya," jelas dia.