Jomblo atau Dimadu di Tengah Pusaran Poligami
- dw
Ada istilah baru yang dipopulerkan oleh artis Emma Watson yang terkenal dalam film Harry Potter yakni "self-partnered” atau berpasangan dengan diri sendiri.
Dalam wawancara dengan majalah Vogue, awal November 2019, Emma mengatakan, "I am very happy being single. I call it being self-partnered” yang bisa diterjemahkan bebas sebagai, "Saya sangat bahagia melajang. Saya sebut ini berpasangan dengan diri sendiri”. Istilah ini menjadi viral dan seakan mewakili aspirasi para jomblo yang selama ini lelah dengan pertanyaan bertubi-tubi, "Kapan menikah?”
Berkat proklamasi Emma Watson, melajang bukan lagi "musibah” karena tidak dapat pacar atau tidak laku. Melajang bukan hal negatif karena gagal berulang-ulang dalam hubungan asmara. Berkat Emma Watson, berpasangan dengan diri sendiri menjadi pilihan rasional yang sengaja diambil bukan karena kehabisan pilihan sehingga terpaksa hidup dalam status lajang. Berkat Emma Watson, jomlo atau jomblo yang biasanya menjadi kata ejekan terangkat pamornya menjadi sebuah pilihan hidup karena kemauan pribadi bukan keterpaksaan atau korban patah hati.
Melajang karena pilihan hidup tampaknya menjadi tren. Individu-individu, laki-laki atau perempuan tak lagi galau muncul di acara-acara sosial meski tanpa pendamping karena kapasitas dan karakter diri sendiri, tak perlu seseorang untuk menjadi teman kencan, apalagi menghabiskan seluruh hidup untuk menemukan teman hidup yang cuma sekadar pelengkap atau eksistensi diri semata.
Dari data statistik di Jakarta yang dirilis dalam Susenas 2018 menunjukkan lebih dari 50% warga Jakarta berstatus lajang. Jumlah itu cukup besar karena total penduduk Jakarta mencapai 10,4 juta jiwa, artinya ada sekitar 5 juta jiwa yang jomblo.
Mungkin Anda berpikir, wajarlah jika di Jakarta banyak yang jomblo karena kesibukan pekerjaan, banyaknya peluang karier, penghasilan yang sudah memadai, pengaruh gaya hidup modern dan kehidupan mandiri yang mapan sehingga menyebabkan pernikahan bukan lagi menjadi suatu keharusan. Menikah dan membentuk keluarga bukan lagi tujuan hidup namun pilihan hidup.
Meski jumlah jomblo di Jakarta lumayan banyak, jika dilihat dari komposisi usia, tren melajang belum menjangkiti generasi milenial yang lahir tahun 1980 hingga 2000.
Berdasarkan buku "Profil Generasi Milenial 2018” terbitan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak tercatat lebih dari setengah generasi milenial berstatus menikah, kira-kira jika dibandingkan dari 10 orang generasi milenial maka ada enam orang menikah dan empat orang melajang.
Secara rentang usia generasi milenial, saat ini mereka berada dalam rentang usia produktif dan usia puncak reproduksi.
Namun berdasarkan survei menunjukkan mereka yang melajang, terutama perempuan tidak mempertimbangkan faktor usia puncak reproduksi tersebut karena fokus pada pendidikan tinggi.
Hal ini membuktikan menikah bukan lagi sebuah ultimatum keluarga, kewajiban moral dan kebutuhan akan penerimaan sosial, tetapi menjadi sebuah pilihan yang sangat bersifat individual. Setiap individu memiliki alasan pribadi mengenai pernikahan dan keputusan memilih pasangan.
Pentingnya kesadaran gender
Secara sosial, seorang perempuan yang memutuskan tidak menikah tak lagi dilabeli dengan sebutan "perawan tua” atau seorang pria yang melajang tak perlu galau dituding "penyuka sesama jenis” sebab melajang adalah pilihan rasional setiap pribadi. Berdasarkan riset Pew Research Center, kesadaran akan gender menyebabkan seseorang lebih dihargai dalam mencapai tujuan hidup sehingga jika ia menunda usia pernikahan atau memutuskan tidak menikah sama sekali, masyarakat kini makin maklum alih-alih mencibir.
Masih mengacu pada riset Pew Research Center, penerimaan dalam masyarakat bukan hanya semakin besar, tapi juga perasaan nyaman untuk hidup sendiri ternyata turut dirasakan oleh generasi milenial yang memilih melajang.
Soal kenyamanan melajang ternyata berkaitan pada kebahagiaan para jomblo yang dibuktikan secara statistik. Badan Pusat Statistik tahun 2017 mencatat Indeks Kebahagian kaum jomblo mencapai angka 71,53. Lebih tinggi dibandingkan mereka yang punya pasangan dalam ikatan pernikahan yang cuma 71,09. Karena itu BPS memprediksi pada tahun 2020 akan terjadi peningkatan perempuan yang tidak menikah.
Tampaknya prediksi BPS ini bertentangan dengan hasil penelitian Karel Karsten Himawan dari Universitas Queensland di Australia yang menunjukkan niat menikah dari para lajang di Indonesia rupa-rupanya mencapai lebih dari 80% sehingga disimpulkan pilihan mereka yang melajang sesungguhnya adalah melajang tanpa kerelaan. Hasil penelitian itu dimuat dalam Jurnal Psikologi Eropa tahun 2018 silam juga menyebutkan keinginan untuk menikah disebabkan karena tiga alasan yaitu guna memenuhi kebutuhan emosional dan berbagi beban hidup, untuk memiliki keturunan dan yang terakhir karena alasan spiritual yakni memenuhi kehendak agama. Alasan agama rupanya muncul juga.
Jadi alasan Poligami?
Alasan berumah tangga demi memenuhi kehendak agama inilah yang membuat poligami mendapat pembenaran. Tak sedikit perempuan yang akhirnya memilih dipoligami beralasan karena usia yang sudah mepet, hampir kepala empat. Alasan lain adalah jodoh tak kunjung datang, tapi malah bertemu dengan pria beristri sehingga menikah sebagai salah satu istri yang dibolehkan oleh agama menjadi opsi terakhir.
Memilih melajang atau ingin menikah, apapun itu idealnya pilihan-pilihan yang Anda buat itu karena keinginan Anda sendiri bukan berdasarkan tekanan keluarga atau sosial. Jika sampai melepas masa lajang dengan menjadi istri kedua, ketiga atau keempat, bukankah hal ini akan makin menyuburkan poligami di Indonesia.
Tentu saya tidak berhak menganjurkan Anda untuk, "Tetaplah melajang, bertahan dalam kejombloan atau berkata mending jadi perawan tua sekalipun daripada ikut-ikutan tren poligami.” Namun saya yakin Anda lebih berbahagia tanpa perlu menjadi istri kedua atau ketiga.
Seorang kenalan saya, seorang perempuan aktivis toleransi menulis di status Facebooknya, "Orang-orang yang melecehkan lajang adalah pribadi-pribadi kerdil yang merasa tidak aman dan membutuhkan semua upaya yang mereka tahu untuk menjadi lebih kuat, karena mereka pikir cara terbaik hidup di dunia adalah dengan menikah.” Saya setuju dengan pendapatnya. Cara terbaik hidup di dunia bukan hanya dengan menikah. Bahkan di Kitab Suci pun ditulis ada orang-orang yang memang tidak menikah dengan tujuan pelayanan kepada Tuhan seperti para biarawan dan biarawati Katolik. Dengan demikian, tidak menikah bukan aib. Tidak menikah bukan kelemahan.
Jika memang tak ada seorang yang terbaik untuk diri Anda, wahai para jomblo, jangan galau! Bepergianlah! Berdasarkan hasil sebuah survei dari biro perjalanan di Inggris November 2019, berdasarkan pemesanan perjalanan selama lima tahun terakhir sejumlah operator tur di Inggris menunjukkan perjalanan individual meningkat 60% pada tahun 2018 dibandingkan pada tahun 2015.
Destinasi favorit para pengelana sendirian asal Inggris ini adalah ke Spanyol, Yunani, Turki, Siprus dan Tunisia. Menikmati hidup dan merayakan kesendirian Anda karena Anda berharga sekalipun tanpa status nyonya, buat para perempuan atau suami, bagi para pria. Hidup ini terlalu berharga jika hanya dihabiskan untuk mencari pendamping. Justru Anda harus makin menikmati hidup dan makin bersyukur karena aura yang positif itu membuat Anda tak pernah kesepian dan sendiri.
@monique_rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.