Kurva Ini Perlihatkan Sosial Distancing Bisa Tekan Sebaran COVID-1
- Angkasa Pura
VIVA – Dunia seketika lumpuh karena ketakutan akan virus baru yang menyerang banyak negara di dunia. Sejak muncul di China pada Desember 2019 lalu, jumlah kasus COVID-19 yang dikonfirmasi, lebih dari 10 kali lipat dari 8100 yang diketahui telah terinfeksi oleh SARS.
Kini, jumlah kasus COVID-19 menyebar cepat, dengan jumlah kasus di beberapa negara berlipat ganda setiap minggu. Dan banyak yang khawatir, ini akan menjadi pandemi paling serius sejak flu Spanyol pada tahun 1918.
Akibatnya, para ahli pun mulai memikirkan tentang kurva eksponensial. Jika jumlah orang yang terinfeksi meningkat dua kali lipat setiap tiga hari, pada bulan Mei, sekitar 100 juta orang Amerika akan positif terkena virus.
Epidemiolog menyebut konsep memperlambat penyebaran virus disebut dengan 'pemerataan kurva' dan telah menyebar luas di media sosial. Meskipun banyak ahli yang meragukan, namun manfaatnya sudah terlihat ketika China mencoba untuk meratakan kurva wabah dan mengunci puluhan juta orang, namun akhirnya mampu memperlambat penyebaran virus.
"Jika kalian melihat kurva wabah, mereka akan mencapai puncaknya dan kemudian turun. Yang perlu kita lakukan adalah meratakannya. Itu akan membuat lebih sedikit orang yang terinfeksi. Yang pada akhirnya akan memiliki lebih sedikit kematian. Kamu melakukannya dengan mencoba mengganggu aliran alami wabah," ujar Anthony Fauci, direktur Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular, dikutip Healthy Food House, Rabu 18 Maret 2020.
Para profesional kesehatan masyarakat mengklaim, jika orang membatasi gerakan mereka dan mempraktikkan jarak sosial, mereka dapat meratakan kurva.
Karena belum ada vaksin atau obat untuk COVID-19, langkah-langkah ini jika dikombinasikan dengan menjaga kebersihan, isolasi kasus-kasus yang dicurigai, penutupan sekolah, dan pembatalan acara besar, diyakini dapat mengurangi penularan. Jika tidak, COVID-19 akan terus menyebar secara eksponensial selama berbulan-bulan.
Masih ada harapan pandemi ini dapat diperlambat. Pejabat kesehatan merekomendasikan untuk sementara tinggal di rumah, menghindari pertemuan publik, dan menjaga jarak dengan orang lain. Namun sayangnya, banyak orang yang tidak bisa berdiam diri di rumah, mungkin karena berbagai kewajiban. Jadi, mereka berisiko lebih tinggi terkena virus dan menyebarkannya.
Inilah yang akan terjadi jika seperempat populasi tidak mengadopsi jarak sosial, dan tiga kuartal lainnya melakukannya. Semakin jauh jarak sosial atau social distance, akan membuat semakin banyak orang sehat.
"Kami mengendalikan keinginan untuk berada di ruang publik dengan menutup ruang publik. Italia menutup semua restorannya. China menutup semuanya, dan kami juga menutup semuanya sekarang. Mengurangi kesempatan untuk berkumpul dapat membantu jarak sosial orang," kata Drew Harris, peneliti kesehatan populasi dan asisten profesor di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Thomas Jefferson.
Sekarang, mari kita lihat apa yang terjadi ketika hanya satu dari delapan orang bergerak. Keempat simulasi (gratis-untuk-semua, percobaan karantina, jarak sosial moderat, dan jarak sosial luas) bersifat acak. Jadi, jika kamu membaca ulang, kamu akan mendapatkan hasil yang berbeda.
Namun, jarak sosial yang moderat masih jauh lebih efisien daripada upaya karantina dan jarak sosial yang luas akan menjadi pilihan terbaik. Perhatikan bahwa simulasi ini terlalu disederhanakan dari situasi COVID-19 di kehidupan nyata. Namun tidak diragukan, perilaku kita masing-masing dapat memiliki efek yang besar, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.