Ngeri, Diabetes Bisa Sebabkan Disfungsi Seksual

Ilustrasi pasangan/cemburu.
Sumber :
  • Freepik/yanalya

VIVA – Risiko penyakit jantung, hipertensi, hingga ginjal ialah komplikasi yang umumnya dialami oleh penderita diabetes. Tapi, yang tidak banyak diketahui, diabetes juga bisa berisiko terhadap terjadinya disfungsi seksual. Kok bisa?

"Satu karena neuropati, dua karena pembuluh darah menyempit sehingga suplai darah ke saraf maupun ke saluran kelamin itu menyempit. Dua hal itu yang menimbulkan impotensi," ungkap Ketua Persatuan Diabetes Indonesia (PERSADIA) Wilayah Jakarta, Bogor, Bekasi dan Depok, Prof. Dr. dr. Mardi Santoso, DTM&H, SpPD-KEMD, FINASIM, FACE, saat ditemui dalam acara Media Briefing P&G Health: Cegah Neuropati, Tingkatkan Kualitas Hidup Pasien Diabetes, di kawasan Kuningan Jakarta Selatan, Senin, 18 November 2019.

Meski demikian, risiko impotensi atau disfungsi seksual, lanjut Mardi, biasanya memang lebih sering terjadi pada penderita diabetes menahun. Terutama hal tersebut lebih sering terjadi pada laki-laki dewasa.

"Nah itu tadi penyebabnya itu butuh waktu. Biasanya penderita diabetes yang sudah lama antara 5 tahun kurang lebih dia menderita diabetes. Tapi bisa juga kalau terlalu tinggi juga bisa menimbulkan gejala disfungsi ereksi, mungkin belum impotensi, jadi kemampuan seksnya menurun," ungkap Mardi.

Meski demikian hal ini sebenarnya bisa dihindari atau dikendalikan. Salah satunya dengan mengontrol asupan gula dalam tubuh, rutin melakukan aktivitas fisik, dan menghindari kegiatan berisiko seperti merokok dan mengonsumsi alkohol.

Seperti diketahui, data International Federation (IDF) Tahun 2017 menunjukkan bahwa 50 persen penderita diabetes berisiko terkena gejala neuropati. Di Indonesia sendiri, terdapat lebih dari 10 juta kasus diabetes dan data Riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi Diabetes Melitus (DM) pada tahun 2018 sebesar 10,9 persen yang menggunakan konsensus PERKENI 2015.

Sebelumnya, Medical & Technical Affairs Manager Consumer Health, P&G Health,  dr. Yoska Yasahardja juga mengatakan bahwa hal ini perlu mendapatkan perhatian lebih karena neuropati merupakan concealed disease, yang bila tidak diobati akan berkembang dan dapat memiliki dampak signifikan pada kualitas hidup.

"Maka dari itu, keluarga berperan penting untuk membantu mencegah dan mendeteksi risiko gejala neuropati agar penderita dapat segera mendapatkan diagnosa akurat sedini mungkin," kata Yoska.