Awas! Polusi Udara Bisa Memicu Keguguran
- dw
Tingkat polusi udara yang sangat tinggi menyebabkan naiknya resiko kelahiran prematur, gangguan pernafasan hingga menurunnya tingkat kualitas hidup hingga kebahagiaan. Salah satu konsekuensi lainnya dari tingkat polusi udara yang tinggi adalah memicu keguguran kandungan pada ibu hamil.
Dalam satu hari, rata-rata orang dewasa menghirup nafas sekitar 20.000 kali. Artinya warga yang hidup di kota metropolitan padat penduduk dengan lebih dari 10 juta jiwa seperti Beijing atau Jakarta, kadar kandungan polutan di udara yang kita hirup sehari-hari menjadi sangat beracun.
Menurut laporan BreathLife, kualitas udara di ibu kota Cina 7.2 kali lebih buruk dari standar batas aman yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO).
Untuk perempuan yang sedang mengandung, ini berarti meningkatnya resiko kemungkinan keguguran. Demikiah hasil sebuah studi skala besar yang diterbitkan di Nature Sustainability.
Polusi udara diketahui meningkatkan risiko kelahiran prematur, berat badan bayi yang rendah dan risiko kesehatan lain untuk perempuan yang sedang hamil. Gangguan ditandai dengan tekanan darah yang tinggi atau hipertensi saat kehamilan.
Riset korelasi polusi dan keguguran
Untuk menegaskan dampak negatif polusi udara terhadap kandungan, sebuah tim yang terdiri dari 16 pakar dari beberapa universitas di Cina melakukan penelitian bersama yang menguji sekitar 250.000 responden perempuan yang sedang mengandung. Riset dilakukan dari tahun 2009 sampai 2017.
Peneliti menemukan bahwa kemungkinan perempuan mengalami kasus keguguran meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi polusi di udara. Riset tersebut juga mempertimbangkan parameter lainnya, seperti kelompok umur, pekerjaan dan suhu udara. Perempuan yang berusia lebih dari 39 tahun dan perempuan yang berprofesi sebagai petani atau buruh memiliki risiko keguguran lebih tinggi akibat paparan polusi udara.
Para peneliti di Cina menetapkan "polusi udara” mengandung 4 jenis polutan, yaitu: ozon, karbon monoksida, sulfur dioksida dan partikulat alias partikel halus yang disebut sebagai PM 2.5. Pada penelitian sebelumnya ditegaskan, partikel polutan halus dapat menembus plasenta pada perempuan hamil yang terpapar polusi udara dalam jangka lama dan mempengaruhi kesehatan si janin.
Dari data rekam medis perempuan yang menjadi objek penelitian, sekitar 17,500 perempuan mengalami kegagalan dalam kandungan atau hamil anggur. Tetapi korelasi polusi udara dengan "hamil anggur" – di mana janin tidak dapan berkembang atau mati – masih sulit untuk di tegaskan.
Darah mengandung polutan
Polusi akibat aktivitas manusia memiliki partikal berukuran sangat halus. Partikel yang tidak kasat mata ini dapat dengan mudah memasuki paru-paru, aliran darah dan bersirkulasi hingga ke dalam otak.
Sejauh ini efek kesehatan yang berbahaya dari polusi udara yang sudah dibuktikan antara lain penyakit infeksi saluran pernafasan, penurunan kemampuan kognitif anak, hingga infertilitas atau mandul dan demensia. Setiap tahunnya kasus kematian yang disebabkan oleh pneumonia atau infeksi saluran pernafasan mencapai satu juta orang, sekitar 50 persen dari kasus tersebut merupakan dampak negatif dari polusi udara.
Penelitian yang dilakukan mengenai hubungan antara keguguran dan polusi udara di Cina bukanlah yang pertama. Pada bulan Februari 2019, sebuah penelitian yang dilakukan di Salt Lake City, Amerika Serikat menunjukan, peningkatan kadar nitrogen dioksida sebanyak 20 mikrogram per meter kubik udara berkorelasi dengan peningkatan kasus keguguran hingga sekitar 16 persen.
Studi tersebut mengkaji data dari sekitar 1,300 perempuan yang masuk ke unit gawat darurat setelah mengalami keguguran dari tahun 2007 hingga 2015. Hasil penelitian menunjukkan, penyebab utama kasus keguguran adalah naiknya kadar polutan nitrogen dioksida dalam masa satu minggu sebelum keguguran.
91% populasi dunia terpapar polusi
Pemerintah Cina sudah menyatakan "perang melawan polusi” lima tahun yang lalu, tapi kadar polusi di kota-kota besar di Cina hingga kini tetap sangat mengkhawatirkan. Tapi Cina bukan satu-satunya negara yang menghadapi masalah polusi udara yang berkaitan dengan meningkatnya emisi gas rumah kaca. WHO menyebutkan 91 persen dari populasi dunia kini bermukim di kota yang polusinya membahayakan.
Para peneliti juga menegaskan, mereka harus melakukan penelitian lebih lanjut untuk dapat memahami lebih baik bagaimana polusi mempengaruhi janin. Termasuk juga membuat model kondisi lingkungan skala lebih luas, dengan menggunakan lebih banyak lagi sumber data, dengan memasukan peruntukkan penggunaan lahan serta peta tutupan lahan. (pn/as)