Lagi Tren Diet Karbo, Apa Kata Pakar?

Ilustrasi buah dan sayur
Sumber :
  • Pixabay

VIVA – Belakangan, semakin banyak orang sadar akan penampilan. Karena hal ini, banyak orang memutuskan untuk berdiet. Tujuannya beragam, mulai dari keinginan untuk langsing hingga ingin memiliki kehidupan yang lebih sehat, dengan pola makan yang lebih sehat.

Untuk mencapai tujuannya, sebagian besar memilih untuk menjalani diet dengan mengurangi konsumsi karbohidrat. Mulai dari diet keto, ketosis hingga OCD. Bagaimana, menurut pakar gizi, mengenai diet ini?

"Pada prinsipnya, diet-diet ini dilakukan untuk menghilangkan karbohidrat dari menunya. Dan, kalau dikaitkan dengan kaidah gizi seimbang, diet-diet itu cenderung tidak seimbang," kata Ketua Indonesia Sport Nutritionist Association (ISNA) Dr Rita Ramayulis, DCN, M.Kes, saat berbincang dengan VIVA.

Dari hasil analisisnya, diet rendah karbohidrat yang sedang tren dilakukan belakangan ini, memungkinkan zat-zat gizi yang dibutuhkan tubuh tidak terpenuhi.

Untuk itu, dia menyarankan, agar diet karbo tidak dilakukan secara rutin dan terus-menerus. "Jadi, sebaiknya digunakan pada saat hari-hari tertentu, seperti pada saat detoksifikasi. Jadi, jangan dijadikan sebagai gaya hidup, karena akan mengganggu reaksi kimia dalam tubuh yang pada akhirnya memengaruhi kesehatan kita juga."

Kemudian, lanjut Rita, banyak yang menggunakan diet itu dengan alasan tingkat keberhasilannya tinggi, penurunan berat badannya secara nyata dan signifikan. Tapi hati-hati, dengan perasaan itu. Karena, penurunan berat badan yang terlalu cepat, menimbulkan reaksi tubuh ingin dapat makanan yang lebih banyak.

"Makanya, sangat mungkin orang-orang yang seperti itu, akan kembali ke berat badan semula, bahkan lebih banyak."

Kenapa sih, banyak orang mulai tertarik diet rendah karbo, apakah ini suatu yang positif atau negatif?

Diakui Rita, ini merupakan fenomena negatif, karena mindset masyarakat tentang tubuhnya masih kurang baik. Karena kemajuan teknologi membuat orang malas gerak, dan kemajuan kuliner membuat anak-anak mengonsumsi makanan yang tinggi gula tinggi lemak. Sementara itu, kemajuan teknologi membuat dia jarang bergerak, sehingga apa yang masuk tidak sebanding dengan apa yang dibakar dalam tubuh.

"Dan, sangat berisiko kenaikan berat badan. Dan, itu kan naiknya tidak instan. Tetapi, ketika ingin turun, mereka inginnya instan. Dia tidak berpikir secara bertahap. Hanya inginnya instan. Tentu ini maknanya menjadi negatif."

Artinya, lanjut Rita, mindset mereka tidak memahami kondisi tubuh mereka. Jadi mereka tetap menikmati pola makan seperti sekarang. Tapi mereka malas gerak. Jadinya berbahaya dan tidak disarankan. (asp)