Ironi Perayaan Hari Ibu, 400 Ibu Meninggal Tiap Bulan Saat Melahirkan
- Stocksnap
VIVA – Tepat hari ini, Sabtu, 22 Desember 2018, 90 tahun sudah Kongres Perempuan I diadakan. Pertemuan yang dihelat di Yogyakarta pada 22-25 Desember 1928 ini konon merupakan cikal bakal peringatan Hari Ibu, yang kemudian ditetapkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1959.
Dalam kongres tersebut, beragam isu dibahas oleh sekitar 600 perempuan Indonesia, mulai dari perkawinan anak hingga pendidikan bagi perempuan. Namun kian hari, makna dan wacana yang dibahas pada Kongres Perempuan kian bergeser dan mengalami distorsi.
Jika pada 90 tahun lalu bertujuan untuk memberikan perempuan lebih banyak ruang dan kesetaraan dengan laki-laki, hari ini makna tersebut justru direduksi. Banyak masyarakat Indonesia yang memperingati Hari Ibu sebagai penghargaan perempuan atas peran-peran domestiknya.
Meski demikian, nyatanya juga tidak banyak masyarakat Indonesia yang peduli dan menghargai peran ibu dalam ranah domestik yang telah melahirkan generasi penerus bangsa. Hal ini terlihat dengan masih cukup tingginya angka kematian ibu (AKI) yang terjadi di Indonesia.
Berdasarkan hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015, AKI di Indonesia memang mengalami penurunan dari 359 kematian ibu per 100 ribu kelahiran hidup pada tahun 2015 menjadi 305 kematian ibu per 100 ribu kelahiran hidup. Angka tersebut juga telah melampaui target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RJPMN) 2015-2019 sebesar 306 per 100 ribu kelahiran hidup.
Tapi, data terbaru yang dihimpun Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan masih cukup banyak ibu atau perempuan yang meninggal ketika melahirkan. Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Kesehatan Keluarga dr. Eni Gustina, MPH kepada VIVA, Kamis 20 Desember 2018.
“Secara ril, kami ada laporan dari semua provinsi, dan ini kita evaluasikan. Tahun ini memang belum masuk angkanya. Di tahun 2017 itu ada 4.295 kematian ibu, berarti rata-rata 400 ibu meninggal tiap bulan. Kita sedang berupaya agar angka itu harus turun,” kata Eni dalam sambungan telepon.
Jika dihitung secara seksama, artinya ada sekitar 358 ibu meninggal tiap bulannya, atau 12 ibu meninggal saat melahirkan setiap harinya di Indonesia. Eni mengungkapkan, secara umum penyebab terbesar kematian perempuan saat melahirkan ialah perdarahan (35 persen), sedangkan di peringkat kedua ialah preeklamsia (32 persen), di samping juga komplikasi akibat penyakit tidak menular lainnya.
“kita juga terus meningkatkan akses untuk menekan perdarahan, dan mengatasi penyakit tidak menular. Makanya selama kehamilan, kita juga sarankan minimal satu kali diperiksa oleh dokter supaya bisa mendeteksi sedini mungkin dan meningkatkan keterampilan dalam pertolongan dalam persalinan. Ini yang mendorong kami bahwa semua kelahiran harus di pusat kesehatan, minimal di puskesmas,” tutur Eni.
Namun, studi yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Keluarga Sejahtera Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (PUSKA-FKM UI), bersama dengan Badan Bantuan Pembangunan Internasional Amerika USAID menemukan terjadinya pergeseran tempat kematian ibu saat melahirkan. Jika pada 2004-2005 mayoritas ibu meninggal di rumah, studi terbaru yang dilakukan dari Juli 2015 hingga Juni 2017, justru menemukan 71,4 persen ibu meninggal di fasilitas kesehatan.
Mengenai hal tersebut, Eni menjelaskan bahwa ibu yang meninggal di fasilitas kesehatan itu sebagian besar terjadi pada enam jam pertama ketika tiba di rumah sakit, dan 24 jam pertama setelah melahirkan. Eni memaparkan, bagi yang meninggal di 6 jam pertama, artinya ada keterlambatan ketika proses rujukan ke fasilitas kesehatan, sehingga ketika tiba di rumah sakit kondisinya sudah tidak tertolong. Belum lagi di beberapa rumah sakit di daerah, dokter spesialis dan alat pendukung tidak selalu siap.
“Kalau 24 jam setelah melahirkan, artinya monitoring tenaga kesehatan tidak bagus, kan harus dipantau setiap 6 jam. Tahu-tahu ketika sudah drop telat mendapat pertolongan makanya kita memperkuat di semua sisi,” kata Eni.
Di samping itu, pergeseran juga terjadi dari faktor usia. Eni mengungkapkan, jika beberapa tahun sebelumnya banyak ibu meninggal di usia yang lebih tua atau di atas 30 tahun, belakangan kematian ibu justru terjadi pada usia muda. Ia menilai, ada cara pandang keliru yang berkembang di masyarakat yang menganggap bahwa setiap pasangan yang menikah harus segera memiliki anak. Padahal, untuk memiliki anak, menurutnya, penting melakukan perencanaan dalam berkeluarga.
“Jadi paradigma kalau menikah harus cepat-cepat punya anak itu salah. Orang menikah kalau belum siap punya anak, sebaiknya jangan punya anak dahulu. Persiapkan dahulu fisiknya. Lihat dahulu HB (hemoglobin) bagus enggak, berat badan sesuai atau enggak untuk melahirkan, jadi harus merencanakan dengan benar,” tandas Eni. (hd)