Belum Mampu Penuhi Standar, BPOM Dampingi Produsen Jamu
- pixabay/Ajale
VIVA – Budaya minum obat herbal seperti jamu memang sudah turun-temurun di kalangan masyarakat Indonesia. Hal ini lantaran jamu diyakini dapat mengatasi berbagai masalah kesehatan.
Namun seiring berjalannya waktu, tuntutan terhadap kualitas dan kapasitas pelaku produsen jamu masih didominasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Padahal untuk memiliki daya saing, produk jamu harus memenuhi jaminan aspek mutu, keamanan dan manfaat.
Melihat hal tersebut, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melakukan Program Terpadu Lintas Kementerian dan Lembaga Pengembangan UMKM Berdaya Saing. Program ini berupa kegiatan pendamping UMKM Jamu yang dilaksanakan di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai proyek pertamanya dan melibatkan Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah RI juga Pemerintah Daerah.
Kepala BPOM RI, Penny K. Lukito, menjelaskan bahwa UMKM jamu di Indonesia yang berjumlah 83 persen belum mampu memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB). Bahkan mereka belum mampu menerapkan aspek higienis, sanitasi, dan dokumentasi dalam proses produksinya.
“Secara lintas sektor ini akan mendorong pengembangan UMKM obat dan makanan agar dapat memenuhi kapasitas cara membuat obat yang baik,” kata dia di Smesco Jakarta, Rabu 12 Desember 2018.
Di sisi lain, Menteri PMK, Puan Maharani menyebut melalui acara ini juga diharapkan bisa memperkenalkan jamu di kalangan generasi muda. Sehingga budaya minum jamu ini tetap lestari.
“Ini jadi satu langkah yang baik bagaimana menggerakkan industri ini sehingga bisa dikenal, bisa diminum secara luas di Indonesia. Sekaligus memperkenalkan cara pembuatan obat tradisional baik yang Insya Allah ke depan akan membuat warisan budaya Indonesia termasuk jamu ini memang aman diminum masyarakat,” kata dia. (ldp)