Indonesia Tertinggal Tangani Resistensi Antibiotik
- Pixabay
VIVA – Meski tak banyak disadari, isu resistensi antibiotik menjadi permasalahan serius yang dialami seluruh negara di belahan dunia. Menurut Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Kementerian Pertanian Syamsul Ma'arif, seluruh dunia kini sedang bahu-membahu mengendalikan laju obat-obatan yang tidak mampu lagi membunuh kuman karena kebal akibat penggunaan yang tidak sesuai petunjuknya.
Namun, menurut Syamsul, Indonesia termasuk tertinggal dalam upaya menangani penggunaan antibiotik yang tidak tepat. Ia menilai bahwa saat ini koordinasi yang dilakukan berbagai pihak masik kurang dalam mengawal penggunaan antibiotik yang bertanggung jawab.
Hal ini seperti juga diungkapkan Musafir, warga Kediri yang hadir pada puncak perayaan Pekan Kesadaran Antibiotik yang mengatakan, bahwa saat ini edukasi terkait resistensi antibiotik belum menyentuh masyarakat secara keseluruhan.
"Karena saya mengalami sendiri, kalau ke Puskesmas sakit pilek langsung di kasih antibiotik," ungkap Mufasir dalam siaran pers yang diterima VIVA, Senin, 19 November 2018.
Padahal, menurut Syamsul, laju resistensi antibiotik bisa untuk ditekan. Hal yang diperlukan ialah komitmen banyak pihak untuk terus mengedukasi tentang bahaya resistensi antibiotik
"Sebenarnya resistensi antibiotik itu peristiwa alami, memang terjadi. Hanya saja bagaimana caranya agar lajunya bisa kita kendalikan," ujarnya.
Pada Pekan Kesadaran Antibiotik Sedunia yang jatuh pada tanggal 12-18 November 2018, Badan Pangan Dunia, FAO bersama dengan Kementerian Pertanian juga menegaskan kembali komitmen untuk mencegah resistensi antimikroba, seperti antibiotik. Komitmen tersebut disampaikan pada Puncak Perayaan Pekan Kesadaran Antibiotik (World Antibiotic Awareness Week /WAAW) yang berlangsung pada hari Minggu, 18 November di Kampus Universitas Airlangga, Surbaya.
Seperti yang diketahui, sebuah laporan global review dirilis pada tahun 2016 menggambarkan model simulasi di mana kejadian resistensi antimikroba diprediksi akan menjadi pembunuh nomor 1 di dunia pada tahun 2050. Di tahun itu, diperkirakan kematian mencapai 10 juta per tahun dan angka tertinggi terjadi di Asia.