Apakah Aman Gunakan Sabun dari Minyak Jelantah?
- bbc
Tiada hari tanpa minyak goreng. Kalimat itu klop menggambarkan keseharian Suryanto, seorang pedagang ayam goreng yang mangkal di Jalan Tamansari, Kota Bandung, Jawa Barat.
Setiap hari pria berumur 30 tahun itu menghabiskan sebanyak tiga liter minyak goreng guna menciptakan produk andalannya.
Masalahnya, memasak dengan minyak goreng menimbulkan sejumlah persoalan. Selain isu kesehatan, juga dampak limbah minyak goreng atau yang biasa disebut minyak jelantah.
Hingga kini, belum ada upaya daur ulang minyak jelantah, baik itu secara mandiri atau kolektif. Akibatnya, minyak jelantah dibuang sembarangan dan mengakibatkan pencemaran lingkungan.
Suryanto mengaku membuang minyak goreng bekas pakai ke selokan.
"(Minyak jelantahnya) dibuang ke selokan," kata Suryanto sambil menggoreng ayam dengan minyak yang warnanya sudah hitam.
Suryanto berkilah selalu membuang minyak jelantah ke selokan lantaran pembuangan di sekitar tempatnya berjualan sudah ditutup.
Tak jauh beda dengan Suryanto, Komay pun membuang minyak jelantah tanpa didaur ulang. Pedagang batagor, jajanan khas Bandung itu, membuangnya ke septic tank.
Meracuni Lingkungan
Pakar lingkungan Institut Teknologi Bandung, Katrina Oginawati, mengatakan, minyak jelantah yang dibuang sembarangan sangat mencemari , bahkan meracuni lingkungan.
Minyak jelantah yang dibuang ke saluran air, lanjut Katrina, akan menyebabkan pipa air tersumbat akibat lemak yang menempel.
Jika lemak minyak terbawa hingga ke danau atau laut, lemak minyak akan berkumpul dan membentuk suatu lapisan yang bisa menutupi permukaan air hingga menghalangi masuknya sinar matahari dan oksigen.
"Cahaya tidak masuk ke perairan, termasuk oksigen juga sukar masuk karena lemak minyak menutupi permukaan sehingga mengurangi O2 yang masuk ke sungai yang disebut anaerob atau kurang O2 atau barangkali oksigennya nol."
"Mikro-organisma dalam perairan akan kekurangan O2 sehingga lingkungan akan berubah yang tadinya ada kehidupan, ada siklus di situ, di mana ada proses piramida makanan. Karena tidak ada O2, maka akan mati. Jadi, tidak ada siklus makanan di situ," papar Katrina kepada wartawan di Bandung, Julia Alazka.
Menambah bahaya, lapisan lemak sangat disukai bakteri dan menjadi tempat berkembang biak.
"Kita tidak tahu bakterinya apa. Kalau bakteri pathogen, dia akan berkembang biak dan bisa menyebabkan penyakit," kata Katrina.
Selain bakteri, lapisan lemak juga disukai dan menjadi tempat berkumpul beberapa bahan kimia organik yang lama kelamaan bisa menjadi zat beracun atau toksik.
"Kalau ada ikan makan zat toksik itu, kemudian masuk ke dalam tubuh ikan. Kalau masuk ke ikan dan sifatnya karsinogenik, mungkin pada ikan tidak terjadi kanker, tapi juga bisa terjadi mutasi. Kalau ikannya dimakan oleh manusia, zat karsinogenik akan termakan juga oleh manusia, bisa jadi buah simalakama buat manusia," jelas Katrina.
Sabun cuci dari minyak jelantah
Menyadari bahaya limbah minyak goreng, seorang ibu rumah tangga bernama Sisca Fauzia berinisiatif mendaur ulang minyak jelantah menjadi sabun cuci.
Sisca yang memang hobi membuat sabun dari bahan alami ini, telah membuat sabun berbahan minyak jelantah sejak beberapa bulan lalu.
"Saya lihat banyak minyak jelantah yang tidak digunakan lagi, banyak yang terbuang. Terus di rumah mertua banyak minyak yang tidak bisa dipakai sama kami, tapi sama tetangga dipakai lagi, kan berbahaya, kurang bagus," tutur ibu satu orang anak ini.
Menurut Sisca, cukup mudah membuat sabun cuci minyak jelantah ini. Bahan-bahannya juga gampang ditemukan di pasaran.
Selain minyak jelantah, dibutuhkan minyak kelapa, cuka apel, NaOH, fragrance oil, arang, dan air. Semua bahan satu per satu dicampur dan diaduk. Tapi sebelumnya minyak jelantah disaring menggunakan kain dan direndam beberapa saat bersama arang. Fungsi arang untuk menyerap kotoran yang ada di minyak jelantah sehingga warnanya sedikit lebih jernih.
Setelah tercampur, semua bahan dimasukkan ke dalam cetakan dan ditunggu selama 12 jam sehingga bahan yang tadinya cair berubah menjadi padat dan bisa dipotong-potong. Setelah itu, sabun cuci minyak jelantah bisa digunakan.
"(Sabun cuci minyak jelantah) ini efektif membersihkan kotoran berlemak, minyak, darah, lebih cepat hilangnya kalau pakai sabun ini, awalnya saya gunakan untuk mencuci lap dan keset yang kotorannya membandel," kata Sisca.
Sisca belum berencana menjual produknya itu ke pasaran. Ia mengaku masih ragu mengenai keamanannya. Apalagi, selama ini minyak jelantah dianggap mengandung zat karsinogenik.
Sejauh ini, Sisca baru membagikan ke teman-teman terdekatnya sebagai barter atas minyak jelantah yang diterimanya.
Salah satunya adalah Risna Oktavianny yang sudah mencoba sabun cuci minyak jelantah sejak pertama kali dibuat.
Risna yang memiliki usaha katering merasa terbantu karena selama ini kebingungan membuang limbah minyak goreng. Malah ia mendapat timbal balik berupa sabun cuci.
Menurut Ibu tiga orang anak ini, sabun cuci minyak jelantah memiliki sejumlah keunggulan dibanding sabun cuci biasa.
"Yang pasti dia lebih murah dibanding sabun yang lain. Terus, biasanya untuk cuci lap kan pakai sabun krim, nah kalau ini mirip sabun mandi. Sabun mandi kan bagus juga untuk nyuci yang kotor, tapi kan mahal, kalau ini jatuhnya lebih murah. Lebih murah, lebih bersih, nyaman ke kulit juga," katanya.
Belum Terjamin Keamanannya
Meski bisa menjadi solusi bagi limbah minyak goreng, namun sabun cuci minyak jelantah belum bisa dijamin keamanannya.
Pakar lingkungan ITB, Katrina Oginawati, mengatakan perlu dilakukan penelitian untuk bisa memastikan keamanan sabun cuci hasil daur ulang minyak jelantah itu.
"Apakah betul kalau jelantah sudah jadi sabun tidak karsinogenik? Kita khawatir itu karsinogenik jadi diupayakan tidak menjadi sabun," ujar Katrina.
Kalaupun didaur ulang menjadi sabun cuci, Katrina menyarankan sabun tersebut dipakai untuk menyuci benda yang tidak bersentuhan langsung dengan kulit, misalnya untuk mencuci kendaraan bermotor.
Meski demikian, Katrina mengakui, ada manfaat dari upaya mendaur ulang minyak jelantah menjadi sabun, yakni mengurangi dampak pencemaran lingkungan.
"Pasti tetap ada lemaknya, namanya juga minyak. Tapi kadar lemaknya mungkin lebih rendah dibandingkan minyak jelantah tadi. Setidaknya bisa mengurangi pencemaran di air," tutupnya.