Perempuan Lebih Rentan Skoliosis, Begini Cara Deteksi Dini
- Pixabay/Geralt
VIVA – Skoliosis atau kelainan tulang belakang yang berupa kelengkungan, mungkin masih terdengar awam bagi masyarakat. Padahal, menurut Dr. dr. Ninis Sri Prasetyowati, SpFKR, angka penderita skoliosis makin meningkat yaitu sekitar 3 persen di dunia, dan di Indonesia jumlahnya mencapai 4-5 persen.
"Skoliosis dapat terjadi karena faktor genetik, kelainan kongenital atau bawaan lahir, kelainan pembentukan tulang atau neurologis, dan kebiasaan dalam membawa barang berat," ujar Ninis di kawasan Cikini, Jakarta, Selasa, 17 Juli 2018.
Skoliosis bisa terjadi pada anak-anak dan dewasa. Skoliosis bisa terjadi sejak balita usia 0-3 tahun, hingga usia di atas 19 tahun. Jika dilihat dari jenis kelamin, skoliosis lebih banyak terjadi pada perempuan.
Menurut fisioterapis Klinik Scoliosis Care Nistriani T. P Kusaly, Sst, Ft, berdasarkan penelitian, perempuan lebih berisiko skoliosis karena perempuan memiliki jumlah otot yang lebih sedikit dibanding laki-laki.
"Otot perempuan juga lebih lemah dibanding laki-laki. Jadi ketika tulang bengkok, otomatis otot akan ikut karena tidak ada pertahanan," kata Nistriani.
Meski demikian, skoliosis pada perempuan juga mudah dikoreksi karena otot yang lemah tadi. Otot yang lemah itu mudah terbawa saat tulang diluruskan.
Karena rentannya perempuan mengalami skoliosis, maka sangat dianjurkan agar melakukan deteksi dini secara akurat. Deteksi dini, kata Ninis, bisa dilakukan dengan cara mengecek dari belakang apakah adanya tonjolan pada tulang bahu, pinggang, dan pinggul yang memiliki kurva tidak seharusnya.