Dilema Ibu Bekerja, Kantor Minim Fasilitas Laktasi

Ilustrasi ibu-ibu menyusui.
Sumber :
  • REUTERS/Christinne Muschi

VIVA – Setiap wanita memiliki peran yang luar biasa bagi keluarga, baik sebagai istri, ibu, dan semakin bertambah tugas jika ia menjalani karier. Melakoni kehidupan yang multiperan, tak jarang menghadapkan wanita pada beragam konflik dan tantangan.

dr. Ray Baawori, MKK., menyebut bahwa konflik terbesar seorang wanita pekerja adalah aktivitas laktasi. Menurutnya, masih banyak pekerja perempuan yang sulit mendapat akses fasilitas ASI di tempat kerja.

"Di Indonesia hanya 21 persen pekerja kita punya akses fasilitas ASI. Hanya 7,5 persen yang mendapat program laktasi (konseling dengan laktasi). Sedangkan di kalangan pekerja sektor formal hanya 19 persen yang bisa berikan ASI eksklusif selama enam bulan," ungkapnya, pada Kamis, 26 April 2018.

Kondisi tersebut berdampak kepada sang ibu terutama ketika mereka kembali kerja setelah cuti melahirkan selama tiga bulan.

"Kembali kerja setelah bayi usia kurang 3 bulan, pekerja perempuan mikir bisa enggak kasih ASI? Kemudian berfikir apa susu formula yang baik," jelas dia.

Di sisi lain, jika memang perusahaan itu menyediakan fasilitas ruang laktasi terkadang ruangan tersebut sering tidak digunakan sebagaimana mestinya. Mulai dari tempat mengobrol, hingga dijadikan tempat beribadah. Hal ini pun membuat mereka tidak bisa memompa ASI dengan maksimal.

Padahal ASI sangat dibutuhkan oleh bayi usia 0 hingga 6 bulan. Mengingat ASI memiliki peran penting bagi pertumbuhan bayi. Maka dari itu, dukungan pemilik dan pengelola tempat kerja pun dibutuhkan agar sang ibu bisa memberikan ASI secara eksklusif.

Ray menyebut pihak pemilik dan pengelola tempat kerja seharusnya bisa memberikan dukungan kepada ibu menyusui melalui penyediaan fasilitas ruang laktasi, penyediaan konselor laktasi, hingga adanya dokter perusahaan yang tidak hanya kuratif tetapi juga bisa mempromosikan kesehatan, salah satunya mengenai ASI.