Sunat Perempuan, Sudut Pandang Medis dan Hukum
- unsplash
VIVA – Banyak pro kontra tentang sunat pada perempuan. Salah satu yang tidak setuju, menilai sunat pada perempuan mencederai bagian organ intim wanita.
Beberapa negara yang melakukan sunat pada perempuan juga dianggap berlebihan, karena memotong daerah genital, misalnya di negara-negara Afrika.
Di Indonesia, peraturan tentang sunat pada wanita juga menimbulkan banyak kontroversi, baik di kalangan ulama maupun kelompok lainnya. Padahal sebenarnya, pada 2010, Kementerian Kesehatan pernah mengeluarkan Permenkes Nomor 1636 Tahun 2010 tentang sunat perempuan. Meski kemudian dilakukan pencabutan yang tertera dalam Permenkes Nomor 6 Tahun 2014.
Pencabutan yang dilakukan pada 6 Februari 2014 itu karena menganggap sunat perempuan bukan tindakan medis, melainkan lebih kepada budaya dan agama. Tapi kemudian peraturan tersebut berlaku lagi dengan peraturan yang lebih tajam.
"Menurut saya, peraturan ini tidak melarang sunat perempuan. Karena mencabut peraturan lalu dan menerbitkan peraturan yang lebih tajam, cari kerja, prosedur, jangan sampai melukai atau menjadikan perbuatan itu (sunat), perempuan sebagai korbannya," kata Anhari Sultoni, pengacara dan dosen dari Universitas Sahid dalam Diskusi Media 'Manfaat Khitan Perempuan dalam Tinjauan Medis, Hukum dan Syari'at, di Jakarta Selatan, Rabu, 25 April 2018.
Di Indonesia, praktik sunat perempuan sudah dilakukan secara turun-temurun terutama di kalangan umat Muslim. Namun kemudian, tidak lagi terdengar di awal tahun 2000 karena dikaitkan dengan sulitnya mencari tenaga medis profesional yang mampu melakukan tindakan ini.
Sunat perempuan tidak bisa dianggap sebagai penyiksaan atau mematikan fungsi seksual wanita seperti biasa disebut vrigid. Sunat perempuan, menurut Anhari, dari sisi hukum tidak termasuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan bukan diskriminasi, karena dilakukan atas motivasi agama.
"Bukan diskriminasi karena yang disunat merasa lebih berharga dan terhormat. Bukan penyiksaan karena yang disunat hanya sedikit disayat. Dan bukan merupakan perusakan, penghancuran alat kelamin perempuan," paparnya.
Anhari mengatakan, "Sunat perempuan tidak termasuk itu (perusakan), karena setelah disunat makin 'mesam mesem' katanya para ahli setelah disunat lebih sensitif, karena kulitnya dihilangin, disenggol sedikit jadi geli".
Dari sisi agama, melakukan khitan bagi wanita sama hukumnya seperti pada laki-laki. Hal tersebut disampaikan oleh Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, KH Fuad Thohari.
"Kalau disebut fitrah untuk menunjukkan kepatuhan, harus dilakukan seperti memotong bulu ketiak, bulu kemaluan, kumis, yang dilakukan umumnya seminggu sekali dan dilakukan di hari Jumat. Khitan bagi perempuan adalah makrumah, pelaksanaannya sebagai salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan," tuturnya.
Hal tersebut didukung dengan pernyataan dari Ustaz Aini Aryani yang turut hadir.
"Khitan ini masuk dalam kategori bersih-bersih. Hukum khitan laki-laki mewajibkan, kalau perempuan ada sedikit perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menyikapi perbedaan pendapat, kalau MUI ada di tengah-tengahnya, tidak mengatakan dosa tapi juga sangat menganjurkan. (Sunat) tidak hanya disentuh, atau mengiris tapi harus presisi karena itu harus dilakukan yang kompeten di bidangnya," katanya.