Bahaya, Mager Bisa Picu Kanker Kolorektal
VIVA – April adalah bulan kepedulian kanker kolorektal. Kesadaran dan kepedulian akan kanker terus digalakkan. Kolorektal adalah kanker yang menyerang kolon (usus besar) dan rektum (anus).
Data Global Burden of Cancer (Globocan), sebuah organisasi di bawah WHO, menyebutkan bahwa insiden kanker kolorektal di Indonesia adalah 12,8 per 100 ribu penduduk usia dewasa dengan tingkat kematian 9,5 persen dari seluruh kasus kanker.
Spesialis penyakit dalam dr Nadia Ayu Mulansari, SpPD-KHOM dari Divisi Hemato Onkologi Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM menyebut bahwa penderita kanker ini lebih banyak dipengaruhi oleh kebiasaan makan.
Ia menyebut bahwa kanker kolorektal merupakan salah satu kanker yang paling dipengaruhi oleh lingkungan dan gaya hidup. Terdapat peran gen dalam timbulnya kanker ini, tetapi hanya 10 persen, sedangkan 90 persennya dipengaruhi lingkungan.
"Dari lingkungan ini bisa kita pecah jadi beberapa dan yang paling besar presentasenya adalah diet atau asupan makanan yakni sekitar 30-35 persen," kata Nadia dalam seminar media di kantor pusat Yayasan Kanker Indonesia (YKI), di Menteng, Jakarta Pusat.
Sementara itu Ketua Umum YKI Prof. Dr. Aru Wisaksono Sudoyo, SpPD- KHOM, FACP, FINASIM, menjelaskan bahwa kanker kolorektal juga berhubungan erat dengan gaya hidup
Budaya instan membuat orang kerap mengonsumsi makanan cepat saji yang kaya lemak. Padahal sistem pencernaan memerlukan asupan makanan yang kaya serat seperti sayur dan buah.
Konsumsi makanan dengan lemak berlebih dapat memicu radang kolon dan dapat menimbulkan kondisi lebih buruk bagi kanker kolorektal. lemak dapat memicu keluarnya asam empedu secara berlebih.
"Pencernaan akan melambat dan asam empedu bertahan cukup lama di usus,padahal asam ini bersifat iritatif," lanjutnya.
Hidup malas bergerak
Lebih lanjut, Profesor Aru juga menyebut bahwa gaya hidup sendetari yang membuat seseorang malas bergerak alias 'mager' juga bisa menjadi salah satu pemicu.
Sedenter adalah pola hidup menetap, yaitu pola kehidupan di mana manusia sudah terorganisasi dan berkelompok serta menetap di suatu tempat.
Gaya hidup sedenter atau jarang berpindah atau bergerak yang semakin menjamur berkat kemudahan teknologi, dan segala kebutuhan yang bisa dipenuhi hanya dengan sekali 'klik'.
Profesor Aru mengatakan bahwa gaya hidup sedenter ini berhubungan dengan sirkulasi darah dan obesitas.
"Obesitas bakal menjurus ke berbagai gangguan kesehatan. kelebihan berat dapat dapat meningkatkan faktor-faktor pemicu inflamasi sel dan berisiko membangunkan sel kanker," ujarnya.