9,8 Persen Balita di Indonesia Menderita Stunting
- Pixabay/Radium
VIVA – Salah satu prioritas pembangunan kesehatan dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional tahun 2015-2019 adalah perbaikan gizi, khususnya stunting (pendek atau kerdil). Sebab, hal ini merupakan indikator rendahnya kualitas sumber daya manusia yang dampaknya menimbulkan risiko penurunan kemampuan produktif suatu bangsa.
Stunting merupakan manifestasi dari kegagalan pertumbuhan (growth faltering) yang dimulai sejak dalam kandungan hingga anak berusia dua tahun. Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes Republik Indonesia, dr. Anung Sugihantono, M.Kes mengatakan, data tahun 2017 berdasarkan tinggi badan dan usia, dari 170 ribu balita berusia 0-59 bulan di 514 kota di Tanah Air, terdapat balita sangat pendek sebanyak 9,8 persen, balita pendek sebesar 19,8 persen, dan balita normal sebesar 70,4 persen.
"Pada baduta (bawah usia dua tahun), terdapat prevalensi sangat pendek sebesar 6,9 persen, pendek 13,2 persen, dan normal sebesar 79,9 persen. Angka ini tidak bisa disamakan dengan Riskesdas karena metode sampling yang berbeda," ucap Anung dalam acara Hari Gizi Nasional ke 58, di Gedung Kemenkes RI, Jakarta, Kamis, 25 Januari 2018.
Sementara itu, dari data yang sama, terdapat prevalensi gizi buruk 3,8 persen, gizi kurang sebesar 14,0 persen, gizi normal sebesar 80,4 persen serta obesitas 1,8 persen.
"Melihat di tingkat nasional, secara proporsional bahwa ada provinsi yang kasus gizi buruknya tinggi, ada 14 persen, 19 persen, ada juga gizi kurang sampai 20 persen. Memang, secara umum, permasalahan gizi terjadi di seluruh wilayah Indonesia, baik gizi buruk, gizi kurang dan atau gizi lebih," ujarnya menambahkan.
Dipaparkan Anung, pencegahan dan penanggulangan stunting harus dimulai secara tepat sebelum kelahiran dan berlanjut sampai anak berusia dua tahun. Selain itu, masalah gizi anak yang berdampak pada stunting dan masalah gizi ibu seringkali tidak disadari baik itu oleh keluarga maupun masyarakat sebagai sebuah masalah yang harus dicegah dan diselesaikan.
"Kecuali bila postur tubuh sudah nampak sangat kurus, barulah sadar bahwa ada masalah. Maka, intervensi paling menentukan untuk dapat mengurangi dan memperbaiki gangguan yang terjadi pada anak perlu dilakukan pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK).” (mus)