Hana Madness: Melawan Stigma Gangguan Jiwa dengan Karya Seni

Hana Madness
Sumber :
  • VIVA/ Bimo Aria

VIVA – Hingga saat ini, tidak terhitung berapa kali depresi membuatnya berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Halusinasi yang dialaminya juga membuat perempuan bernama Hana Al Fikih ini kesulitan untuk tidur berhari-hari.  

Baru pada tahun 2010 lalu, Hana diketahui mengalami bipolar disorder-- gangguan mental yang ditandai perubahan suasana hati ekstrem, dari mania (bahagia) hingga depresi.

Jauh sebelum itu, Hana juga kerap mengalami perlakuan yang tidak semestinya didapatkan oleh penderita gangguan mental. Mulai dari dikurung di rumah, hingga beberapa kali diruqiyah.

"Pokoknya aku dari kecil itu ekstrem banget, tapi ter-diagnosanya telat banget. Itu baru 2010 itupun penanganannya teman aku yang bawa karena pada saat itu keluarga denial banget kan, jadi kayak gitu, tahun  2010 keluar masuk, karena penanganannya masih parah, dan sampai kuliah aku masuk telat," ungkap perempuan yang sempat mengenyam kuliah di bidang periklanan.

Gangguan mental yang dialaminya sebetulnya telah dirasakan sejak Hana berada di Sekolah Dasar (SD).  Kondisi itu semakin memburuk.  Puncaknya pada saat Sekolah Menengah Pertama (SMP).

"Sekolah aku berantakan banget, SMP aku enggak punya teman, aku nangis, terus orangtua dipanggil karena anaknya enggak pulang," ungkap perempuan kelahiran Oktober 1992 ini.

Kala itu, hanya menggambar yang bisa membuatnya tetap waras. Bahkan, Hana hampir tidak pernah membawa buku pelajaran ketika pergi ke sekolah. Semua buku pelajaran dimasukkan ke kolong laci meja di kelasnya.  Setiap harinya, Hana hanya bermodalkan sebuah tas slempang, buku gambar, dan juga pensil gambar saat ke sekolah.

"Jadi benar-benar rebel luar dalam, pikirannya rebel luarnya juga. Cuma menggambar yang bisa menjaga kewarasan aku gitu, sedangkan konflik dengan keluarga dan sekolah besar juga."

Lewat gambar bernuansa doodle yang dibuatnya, perlahan Hana menemukan ketenangan dalam dirinya. Sedikit demi sedikit dia mulai berdamai dengan dirinya. Hingga pada saat Sekolah Menengah Umum (SMU), dia mulai menuangkan karyanya ke dalam media lain seperti sablonan, dan menyebarluaskan lewat media sosial.

Bersyukur alami gangguan jiwa

Belakangan, nama Hana lebih dikenal dengan nama Hana Madness. Dia kini juga mulai terbiasa menerima kondisi yang dialaminya selama kurang lebih 25 tahun. Di balik segala hal yang dia alami, Hana juga merasa bersyukur dengan kondisi gangguan jiwa yang dimilikinya. Bahkan dalam akun Instagramnya dia menuliskan "Thanks God For Mental Illness".

"Iya,  karena aku ngerasa banyak orang mereka butuh kegilaan atau konflik apapun yang bisa membuat mereka kreatif, bahkan ada yang ke pulau menyendiri, sementara aku punya banyak banget konflik dalam diri aku, kayaknya sayang saja kalau enggak aku olah jadi sumber yang bisa dinikmatin banyak orang," kata dia.

"Terlebih sebelum dapat kenalan dengan dokter, aku sempat tanya dan cari tahu di Google dan banyak banget seniman yang bisa besar dengan latar belakang gangguan jiwa mereka, jadi kenapa gue harus terus mengeluh."

Hingga kini, tidak terhitung karya yang berhasil dibuat olehnya. Beragam pameran juga pernah memuat karya doodle art miliknya. Bahkan tahun lalu, Hana juga sempat mendapat undangan ke Inggris dari  British Council untuk acara Unlimited Festival. Selain membawa karyanya, Hana juga berbicara soal seni dan gangguan kesehatan jiwa.

Dalam salah satu pamerannya di Artotel Week, Hana bahkan membuat dan menamai tiap tokoh doodle art yang dibuat olehnya. Semua nama yang diambilnya terinspirasi dari istilah gangguan kesehatan mental.

"Ada medico dari medikal terus sansan dari sanax, dumo dari dumoid, ada anti psikotropika juga kaya klomi, ada bipo, polar ada skizo juga, pokoknya semua yang merepresentasi aku,"

Melawan stigma dengan karya

Meski demikian, stigma masyarakat terhadap penderita gangguan mental masih demikian kuat. Seperti yang diceritakan oleh Hana, dia bahkan sempat mendapatkan stigma dari keluarga, yang notabene adalah lingkungan terdekatnya.

"Bahkan gue juga sempat ngalamin keluarga yang nge-treat dengan dikurung, habis itu dikurung dan enggak boleh kemana-mana, malu lah sama keluarga, sama tetangga, sampai sempat diruqiyah, dapat treatment yang sebetulnya gue enggak butuh itu," ungkap dia.

"Gue cuma butuh didengar loh."

Namun perlahan dia menyadari, bahwa stigma dari masyarakat memang akan selalu ada, bahkan di negara paling maju. Kini, yang terpenting baginya ialah dengan menerima dirinya sendiri.

"Tinggal kita aja yang harus terbiasa, jadi gue sudah enggak fokus sama stigma itu. Yang jelas gue do something dengan diri gue sendiri, mungkin gue ngerasa nothing kalau tidak melakukan apa-apa sama diri gue sendiri."

Sekarang, berkesenian seolah menjadi candu yang membuat Hana damai, dan kembali menemukan dirinya.

"Orang sudah mempercayakan gue dan mau kerja sama dengan gue enggak pandang lagi gue sebagai orang dengan gangguan jiwa tapi pure dia suka karya gue makanya mau kerjasama."