Kisah Dokter Reisa Semalaman Bersama Jenazah
- VIVA.co.id/Adinda Permatasari
VIVA.co.id – Anggun dan tutur bicaranya yang lembut melekat pada sosok dr Reisa Broto Asmoro. Bentuk citra yang juga membuatnya pantas mendapat gelar Putri Indonesia Lingkungan 2010.
Meski begitu, ada ketangguhan yang tersembunyi di balik paras ayunya. Yakni ketika ia dengan penuh keberanian menjalani profesi sebagai dokter forensik di RS Polri Raden Said Soekanto Kramat Jati, Jakarta.
Begitu lulus, Reisa langsung bergabung dengan Departemen Forensik di sana. Selama dua tahun menjalani karier sebagai dokter umum forensik, Reisa biasa menangani visum kasus kematian dan juga kasus hidup.
Ia juga sempat diajak bergabung sebagai anggota tim DVI (Disaster Victim Identification) yang menangani beberapa kasus pengeboman di Jakarta dan korban pesawat Sukhoi. Bisa dibayangkan bagaimana Reisa harus mengidentifikasi sejumlah jenazah yang sudah tak utuh lagi. Bagi sebagian orang tentu itu menjadi pekerjaan yang membuat bulu kuduk merinding.
"Biasa saja sih, karena awalnya waktu belajar anatomi juga enggak ada yang utuh. Saya itu kalau melihat yang sudah meninggal itu ya sudah. Tapi yang lebih sedih lagi, yang lebih saya khawatirkan adalah kalau saya ketemu kasus hidup," ungkapnya kepada VIVA.co.id.
Ada satu kasus yang masih diingatnya hingga sekarang yang membuat hati Reisa ikut hancur. Yaitu, ketika ia harus membuat visum seorang anak perempuan berusia sekitar empat tahun yang menjadi korban kekerasan seksual oleh pamannya sendiri.
"Saya sampai menangis di depan pasien. Anaknya hanya bisa diam, sudah tidak bisa menangis lagi," cerita wanita 31 tahun ini.
Meski sudah diberi waktu untuk menenangkan diri, tapi Reisa tidak bisa mengendalikan emosinya. Melihat anak perempuan itu, hatinya seperti teriris membayangkan bagaimana trauma besar itu akan membayanginya hingga dewasa.
Sebaliknya, hal seperti demikian justru tidak pernah muncul ketika dia menghadapi kasus kematian atau korban bencana. Sekali pun pengalaman seram bisa muncul ketika berhadapan dengan jenazah di rumah sakit.
"Kalau ada kasus bom itu bisa berhari-hari, karena maunya cepat. Kita semua kerja dari pagi sampai malam. Sampai tidur di ruang forensiknya. Mungkin karena nggak bisa melihat jadi nggak takut, cuma orang sekitar saya banyak yang cerita," kata pemilik nama asli Kanjeng Mas Ayu Tumenggung Reisa Kartikasari ini.
Namun, dengan sangat menyesal Reisa harus mengakhiri kariernya di dunia forensik ketika memutuskan mengikuti pemilihan Putri Indonesia 2010 lalu. Demi menjalankan tugas sebagai Putri Indonesia Lingkungan, Reisa harus vakum sejenak dari semua aktivitas yang dilakukannya kala itu. Termasuk pendidikan S2 yang tengah dijalaninya di Universitas Indonesia.
Meski masih sempat diajak bergabung dalam DVI di tahun 2012, tapi melanjutkan kembali tugasnya sebagai dokter forensik tidaklah mudah. Apalagi untuk rumah sakit Bhayangkara tempatnya bekerja.
Akhirnya, Reisa pun memutuskan untuk mendalami kedokteran estetik yang masih dijalaninya hingga sekarang. Estetik memang menjadi pekerjaan kedua Reisa selain menjadi dokter forensik.
Menurut Reisa, menjadi dokter estetik juga bisa memberi keuntungan, yakni bisa merawat keluarga dan diri sendiri. "Awalnya karena enggak sengaja, coba melamar dan kebetulan dokter yang punya kliniknya baik banget, dia mau bagi ilmu. Lama-lama tertarik, seru juga," ujarnya.
***
Jangan Takut Wujudkan Mimpi
Sejak terpilih menjadi Putri Indonesia Lingkungan 2010 dan mewakili Indonesia dalam ajang Miss International 2011, otomatis jalan karier Reisa menjadi lebih berwarna. Ia tidak lagi hanya bekerja dibalik jas putih, tapi juga tampil di depan layar sebagai presenter.
Hingga sekarang Reisa masih aktif menjadi pembawa acara Dr Oz Indonesia dan mengisi berbagai program televisi lainnya. Di waktunya yang lain, ia juga tetap menjadi dokter estetik di salah satu klinik kecantikan di Jakarta.
Aktivitasnya memang sangat padat, meski begitu ia selalu menomorsatukan keluarga. Terutama putri semata wayangnya, RR Ramania Putri Brotoasmoro, yang masih berusia 2 tahun.
"Kalau mau syuting, kalau bisa jangan pulang malam. Jam makan malam sebisa mungkin sudah di rumah. Jadi, sebelum anak tidur sudah ketemu. Terus weekend kalau nggak ada acara ke luar kota lebih banyak habiskan waktu sama keluarga. Praktik juga enggak sampai malam dan setelah anak sekolah," ungkapnya.
Itu pula yang menjadi alasan Reisa memutuskan tidak lagi bekerja di rumah sakit. Bekerja di klinik membuatnya bisa memiliki lebih banyak waktu untuk bersama sang buah hati.
Bahkan tak jarang ia membawa putri mungilnya ketika bekerja. Saat syuting suatu program juga saat praktik di klinik. Dengan cara itu, Reisa juga bisa sekaligus mengenalkan pekerjaannya pada sang anak.
Meski demikian, istri Kanjeng Pangeran Tedjodiningrat Broto Asmoro ini tidak ingin memaksakan Ramania mengikuti jejaknya. Ia membebaskan putrinya memilih jalan kariernya sendiri. Tugasnya sebagai orangtua hanyalah mengarahkan saja.
Kelak, Reisa ingin putrinya bisa menjadi perempuan yang tidak takut mengikuti kata hati dan mewujudkan impiannya. "Zaman sekarang, perempuan itu yang memegang kunci keberhasilan dirinya sendiri," ucapnya.
Sama seperti RA. Kartini yang dengan berani menyuarakan pendapatnya. Tokoh wanita yang gigih mewujudkan mimpi di antara halangan yang menjegal langkahnya.
"Dahulu jadi dokter perempuan itu sulit sekali dan mungkin karena beliau juga salah satunya, akhirnya banyak perempuan yang bisa ditempatkan dalam posisi seperti sekarang," kata Reisa.
Karena itulah, Reisa menginginkan agar para perempuan masa kini, baik yang berkarier maupun ibu rumah tangga, harus memiliki pendidikan tinggi. Tapi, pendidikan tinggi itu tidak pula membuat mereka lupa akan tugasnya di rumah.
"Meskipun dia ibu rumah tangga yang tidak berkarier, tapi dia tetap harus bisa mewujudkan impiannya," imbuhnya.
Seperti dirinya yang penuh keyakinan dan percaya diri mewujudkan mimpi menjadi dokter. Sesuai dengan pesan ibunya yang selalu terngiang di benak Reisa, bahwa apapun yang diawali dengan minat pasti akan menghasilkan sesuatu yang bagus. (umi)