Mengapa Gen Z Dianggap Sulit Diajak Kerja? Ini Penjelasan dr Elvine Gunawan!

Ilustrasi: Generasi Z memasuki dunia kerja
Sumber :
  • Freepik.com//@prostooleh

Jakarta, VIVA –  Generasi Z (Gen Z) saat ini menjadi perbincangan hangat di dunia kerja. Banyak pimpinan dan perusahaan yang merasakan adanya perbedaan mendasar dalam etos kerja mereka dibandingkan generasi sebelumnya.

Namun, benarkah Gen Z sulit diajak bekerja sama, atau sebenarnya ini adalah hasil dari perbedaan perspektif dan perubahan lingkungan?  Spesialis Kejiwaan sekaligus pendiri Mental Hub Indonesia,dr. Elvine Gunawan, Sp.KJ, memberikan wawasan menarik tentang fenomena ini dalam sesi wawancaranya dengan Helmy Yahya.

“Empatinya mati sih pak kalau aku bilang. Orang selalu dimunculkan narasi bahwa, kamu harus bertahan hidup dan harus mementingkan dirimu sendiri in every place. Jadi akhirnya, ya, tumbuh besar ya. Kalau gue gak dapet sesuatu, ya saya gak mau ngelakuin,” ungkap dr. Elvine.

Menurutnya, hal ini berakar dari narasi “self-survival” yang begitu mendominasi, membuat banyak anak muda tumbuh dengan prioritas yang lebih terfokus pada kepentingan pribadi. Alhasil, inisiatif untuk berkontribusi sering kali menjadi kurang, sebab bagi mereka, pekerjaan hanyalah sarana mencari uang, bukan ruang untuk bertumbuh.

Ilustrasi Gen Z yang Menerapkan Quiet Quitting

Photo :
  • Pexels.com

Persepsi bahwa Gen Z "hanya bekerja untuk uang" mungkin tidak sepenuhnya salah. Lingkungan kerja modern yang kurang memberikan ruang pertumbuhan, minim mentor, dan pendekatan dari generasi yang berbeda, terutama para senior yang kurang adaptif, menjadi kendala utama. Bagi banyak anggota Gen Z, tempat kerja dianggap sebagai “alat,” bukan sebagai “wadah” untuk belajar.

"Makanya inisiasinya kan mati, Kayak hidup tuh ya udah tentang dirimu. All about you," lanjut dr. Elvine

Pendekatan ini, meski tidak sepenuhnya salah, menyebabkan pemimpin merasa kesulitan mengajak Gen Z bekerja dengan sepenuh hati. Generasi ini cenderung mencari kepuasan instan, di mana keberhasilan kecil bisa diraih dengan lebih cepat melalui teknologi dan informasi yang mudah diakses.

Bukan hanya inisiatif yang terbatas, Gen Z juga cenderung bergantung pada orang tua untuk menyelesaikan masalah.

"Pusing tuh pak kalau udah kayak gitu. Kadang saya suka bilang ke orang tua izinin anak tuh gagal, izinin anak untuk merasakan gagal," ujar dr. Elvine.

Dia mengungkapkan bahwa seringkali orang tua terlalu melindungi anak-anak mereka dari kegagalan, sehingga mereka tidak belajar dari pengalaman. Hal ini berimbas pada kurangnya kemampuan problem-solving dan kepemimpinan di dunia kerja.

Generasi muda sering kali dikritik karena sikapnya yang dianggap kurang sopan dan kurang menghormati senior. Namun, menurut dr. Elvine, permasalahannya bukan sepenuhnya di Gen Z, tetapi juga pada para pemimpin yang belum siap menghadapi perubahan zaman.

Para pemimpin dari generasi yang lebih tua (boomer) kadang-kadang menerapkan pendekatan yang tidak relevan dengan kondisi saat ini, seperti cara berkomunikasi yang kurang inklusif dan kesulitan beradaptasi dengan transformasi digital.

"Bos itu tidak bisa jadi inklusif sih Pak, tidak bisa menjadi inclusive leader. Enggak pernah punya kuping untuk mendengar apa yang menjadi masalah mau disalahin betul," jelas dr. Elvine.

Menurutnya, pemimpin yang tidak terbuka dan tidak mendengarkan masukan dari karyawan muda, hanya akan membuat jarak antar generasi semakin besar.

Selain itu, Gen Z tumbuh di tengah revolusi digital, yang secara tidak langsung membentuk cara berpikir mereka. Bagi mereka, belajar mandiri melalui platform seperti YouTube atau mencari informasi dari internet adalah hal biasa.

Generasi ini mampu berpikir kritis dan menemukan jalan pintas untuk menyelesaikan masalah. Namun, pemimpin generasi yang lebih tua sering kali merasa terancam oleh pendekatan ini dan berusaha menegakkan cara kerja yang lebih “tradisional.”

"Secara IQ pasti lebih pintar Pak, karena dia di perut emaknya udah minum omega3, kita masih makan ikan gabus kalau ada kan," ujar dr. Elvine sembari bercanda.

Dia menegaskan bahwa Gen Z secara intelektual lebih unggul karena akses mereka terhadap informasi dan pendidikan sejak dini. Namun, tanpa komunikasi yang baik, keunggulan ini justru bisa menjadi sumber konflik.

Pentingnya komunikasi dan kolaborasi antara generasi adalah kunci untuk mengatasi masalah ini. "Saya ngajarin komunikasi dan kolaborasi," tegas dr. Elvine.

Dia menekankan bahwa setiap generasi memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Senior memiliki pengalaman, jaringan, dan kebijaksanaan, sementara Gen Z lebih inovatif dan kreatif dalam era digital ini. Kedua pihak perlu menghargai kelebihan satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.

Di era di mana setiap generasi memiliki caranya sendiri dalam menghadapi dunia, kolaborasi dan komunikasi yang baik menjadi elemen utama untuk menciptakan lingkungan kerja yang harmonis. Pendekatan yang inklusif dan keterbukaan untuk mendengarkan aspirasi dari semua pihak adalah langkah pertama untuk menjembatani perbedaan ini.