Merajut Identitas: Upaya Mengenalkan Tenun Bima ke Pentas Dunia

Ilustrasi Kain Tenun Bima.
Sumber :
  • kemenkeu

Bima, VIVA – Tradisi tenun di Bima, sebuah wilayah di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, menyimpan kekayaan budaya yang tak ternilai, namun sayangnya belum banyak dikenal luas. Tenun Bima memiliki keunikan dan karakteristik tersendiri yang tercermin dalam motif, warna, serta proses pembuatannya yang rumit dan memerlukan ketelitian. Bagi masyarakat Bima, kain tenun bukan sekadar produk tekstil, tetapi juga merupakan simbol identitas budaya, lambang status sosial, dan ekspresi seni yang diwariskan secara turun-temurun.

Tradisi menenun di Bima sudah ada sejak ratusan tahun lalu dan dilakukan secara manual menggunakan alat tenun tradisional. Proses pembuatan kain ini dimulai dari pemilihan bahan dasar yang berkualitas tinggi, seperti benang katun atau sutra, yang kemudian diwarnai menggunakan bahan-bahan alami seperti daun, akar, dan kulit kayu. Pewarnaan alami ini tidak hanya menghasilkan warna-warna yang khas dan tahan lama, tetapi juga ramah lingkungan, sejalan dengan nilai-nilai kearifan lokal yang dianut oleh masyarakat Bima.

Motif yang digunakan dalam tenun Bima sangat bervariasi dan sarat dengan makna filosofis yang mendalam. Beberapa motif yang cukup populer antara lain motif kaligrafi Arab, motif flora dan fauna, serta motif geometris yang disusun dengan pola simetris. Setiap motif ini memiliki arti khusus yang mencerminkan kehidupan sehari-hari, alam sekitar, hingga nilai-nilai spiritual yang dipegang teguh oleh masyarakat. Misalnya, motif flora melambangkan kelimpahan dan kesuburan, sedangkan motif kaligrafi menunjukkan kepercayaan yang kuat terhadap ajaran agama Islam.

Proses pembuatan kain tenun Bima bukanlah hal yang mudah. Setiap tahapan, mulai dari memintal benang, mewarnai, hingga menenun, membutuhkan kesabaran, keterampilan, dan ketekunan yang tinggi. Proses ini bisa memakan waktu berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, tergantung pada kerumitan motif dan ukuran kain. Hal inilah yang menjadikan kain tenun Bima memiliki nilai estetika dan nilai jual yang tinggi. Sayangnya, ketekunan dan keahlian ini kini terancam pudar seiring dengan minat generasi muda yang semakin berkurang terhadap seni menenun.

Di balik keindahannya, tradisi tenun di Bima menghadapi berbagai tantangan, mulai dari sulitnya akses bahan baku alami, minimnya dukungan untuk pemasaran, hingga keterbatasan modal bagi para pengrajin. Banyak pengrajin yang hanya mampu memproduksi tenun dalam jumlah terbatas karena kendala biaya dan akses pasar. Akibatnya, kain tenun Bima belum memiliki popularitas yang setara dengan tenun dari daerah lain, seperti tenun ikat dari Nusa Tenggara Timur atau songket dari Sumatera Barat.

Namun, di tengah segala tantangan tersebut, masih ada beberapa pihak yang berusaha melestarikan tradisi tenun ini. Salah satunya adalah UKM Dina, sebuah usaha kain tenun khas Bima yang digagas oleh Yuyun Ahdiyanti, seorang warga asli dari Ntobo, sejak tahun 2015. Latar belakang pendirian UKM ini berawal dari keresahan Yuyun melihat kampung halamannya yang sebenarnya kaya akan tradisi menenun, namun kurang dikenal sebagai Kampung Tenun. Sebagian besar warga Ntobo adalah penenun, tetapi keterbatasan modal dan akses pemasaran menjadi kendala yang membuat produk tenun mereka sulit berkembang.

Pada awalnya, Yuyun mempromosikan kain tenun keluarganya melalui unggahan sederhana di media sosial. Tak disangka, respons dari para pengguna media sosial sangat positif. Banyak pesanan datang dari berbagai kalangan, yang mendorong Yuyun untuk memikirkan cara agar penenun lain di sekitarnya juga bisa merasakan manfaat yang sama.

Dengan memberikan modal kepada penenun lokal dan menawarkan bantuan dalam pemasaran, Yuyun berhasil menarik minat mereka untuk mempercayakan hasil tenun mereka pada UKM Dina. Jaminan akan akses modal dan pemasaran ini membuat para penenun merasa lebih aman dan semangat untuk berkarya.

Keberadaan UKM Dina ternyata berdampak luas, tidak hanya bagi Yuyun sendiri, tetapi juga bagi ekonomi masyarakat sekitar. Saat ini, UKM Dina telah memberdayakan lebih dari 200 orang penenun dan 15 penjahit, memberikan mereka penghasilan yang lebih stabil. Impian Yuyun untuk mengenalkan Ntobo sebagai Kampung Tenun pun akhirnya tercapai. Banyak wisatawan mulai berdatangan untuk menyaksikan langsung proses pembuatan kain tenun tradisional yang dilakukan dengan penuh keahlian dan ketelatenan.

Jangkauan pemasaran UKM Dina kini semakin meluas, bahkan telah mencapai pasar internasional. Dalam upayanya untuk tetap kompetitif, Yuyun tidak hanya mengandalkan produk tradisional, tetapi juga terus berinovasi dalam menciptakan variasi produk yang menarik dan relevan dengan tren pasar. Ia juga terbuka untuk bermitra dengan berbagai pihak, baik dari kalangan pemerintah maupun akademisi, demi memperluas peluang usaha dan menambah nilai bagi produk UKM Dina.

Tahun ini, Yuyun menjalin kerja sama dengan akademisi untuk mengembangkan zat pewarna alami, nanopartikel, serta mendukung kegiatan budidaya yang ramah lingkungan. Ia juga aktif memberikan pelatihan kepada generasi muda agar keahlian menenun Bima dapat terus lestari dan berkembang.

Dengan segala upayanya, Yuyun tak hanya mengangkat kain tenun Bima ke pentas yang lebih luas tetapi juga menjaga kelestarian budaya tenun agar tetap hidup dan dinamis di tengah perubahan zaman. Berkat perjuangannya ini, Yuyun berhasil meraih penghargaan Satu Indonesia Awards pada tahun 2024.