2023 Dinobatkan Jadi Tahun Paling Panas Karena Suhu Bumi Terus Naik, Dampaknya Bikin Nangis!

Ilustrasi cuaca panas
Sumber :
  • Pixabay

JAKARTA – Kondisi Bumi yang kita pijaki semakin memprihatinkan. Suhu Bumi terus meningkat dikarenakan adanya industri yang berkembang di Bumi ini sejak masa pra-industri di tahun 1850an. Dampaknya, bahkan sudah bisa kita rasakan sehari-hari.

Hal itu diungkap oleh Senior Manager, Energy and Suistainable Business World Resources Institute (WRI) Indonesia, Clorinda Kurnia Wibowo. Scroll untuk tahu informasi selengkapnya.

“Kita sudah merasakan dampak iklim yang terjadi. Kalau dilihat sehari-hari, kita merasakan suhu lebih panas, mungkin AC lebih sering dinyalain, banjir terjadi tiba-tiba, hujan yang harusnya mungkin kuota hujan 1 minggu dihabisin dalam 1 hari, sehingga banjir di mana-mana,” ujar Clorinda saat Talkshow Beyond Carbon Neutral yang digelar Mowilex di kawasan Jakarta Barat, baru-baru ini. 

Clorinda melanjutkan, efek perubahan iklim yang terlihat, di antaranya udara semakin panas, permukaan laut meningkat, banyak bio diversity yang hilang atau punah, hingga polusi udara yang kini tengah meniadi topik hangat di Jakarta.

“Contohnya pangan, menjadi topik yang lumayan panas juga di Indonesia. Kita lihat beberapa waktu lalu sudah ada bencana kelaparan di daerah Timur sana, karena pangannya sudah banyak kekeringan,” bebernya.

“Jadi lahan-lahan pangannya sudah semakin sempit. Di sini kalo ditarik kesimpulan dari suhunya meningkat, lahan pangan tidak subur, pangannya berkurang, akhirnya masalah kesehatan, kematian, dan masalah konflik lainnya yang akhirnya balik ke manusia itu sendiri. Jadi memang domino efeknya sangat banyak sekali,” sambungnya.

Bahkan diungkap Clorinda, 2023 dideklarasikan sebagai tahun yang paling panas.

“Kita harusnya melimit kenaikan suhu bumi itu di 1,5 derajat Celcius dari pra-industrial level. Sekarang kita udah 1,1 derajat Celcius. Jadi, kita cuma punya 0,4 derajat Celcius lagi, sisa Bumi ini. Di atas 1,5 derajat itu apa yang terjadi? Extreme weither dan semua dampak tadi akan susah dikembalikkan lagi,” ungkapnya. 

Menurut Clorinda, Indonesia sendiri sudah memiliki target terkait iklim. Dia mengatakan, negara kita sebenarnya sudah sangat berkomitmen untuk menurunkan emisi dan beradaptasi terhadap perubahan iklim ini. 

“Targetnya 31,89 persen, ini target reduksi emisi kita di tahun 2030. Dan kita juga punya net zero target Indonesia 2060,” pungkasnya.

“Walaupun misalnya global kalau kita mau mencapai 1,5 derajat yang tadi batas 1,5 derajat kenaikan suhu bumi harusnya net Zero 2050, tapi sebagai negara berkembang ya udah 2060 dulu dan itu sudah baik di antara negara-negara berkembang lainnya,” tutur Clorinda. 

Industri memegang peranan penting
Lebih dalam Clorinda memaparkan, industri sangat memegang peranan penting karena penghasil emisi terbesar adalah industri, yaitu mencapai 74,5 persen.

“Dan sisanya 25 persennya dari mana? Bisa dari individu,” ungkap Clorinda. 

Salah satu bentuk tanggung jawab industri turut dibuktikan oleh Mowilex yang kembali meraih sertifikasi CarbonNeutral secara beruntun. 

Niko Safavi, President Director, CEO Mowilex Indonesia, mengatakan, strategi mereka sederhana, di mana mereka berfokus pada dua pilar yaitu menghasilkan produk berkualitas dan memproduksinya dengan cara yang bertanggung jawab terhadap lingkungan

“Selama lebih dari 53 tahun, masyarakat telah mempercayai kami sebagai pemimpin di antara produsen cat berkualitas, dan sekarang kami ingin mereka melihat bahwa Mowilex juga menjadi pemimpin industri dalam hal pertanggungjawaban lingkungan,” tukasnya.

“Hal ini direfleksikan oleh emisi karbon operasional kami yang telah diimbangi menjadi nol selama lima tahun berturut-turut. Mowilex yakin bahwa pelanggan kami, baik pemilik rumah, toko lokal, para generasi muda, atau pengembang proyek pemerintah, akan memerhatikan dan menghargai upaya ini. Namun untuk benar-benar melakukan perubahan, kami memerlukan dukungan dari semua pihak di pasar. Dukungan ini akan membantu kami untuk terus berinvestasi guna mencapai tujuan jangka panjang perusahaan, dan turut mendukung tujuan Indonesia dalam mengurangi emisi,” imbuh Niko Savari.