Serangan 9 September di Amerika dan Suara Adzan Bawa Wanita Kanada Ini Jadi Mualaf

Ilustrasi wanita berdoa.
Sumber :

JAKARTA – Noor Aubie atau akrab dipanggil Aubie dilahirkan di utara Toronto. Meski punya dua orang saudara,gadis Kanada ini merasa sering kesepian dan bermain sendiri.

Ia juga punya imajinasi yang besar sehingga pada usia 4 tahun telah bertanya tentang Tuhan yang tidak terjawab oleh orang tuannya. Aubie merasa mendapat perhatian ibunya hanya pada hari Minggu, karena di hari itu mereka bersama-sama pergi ke Gereja

“Aku dulu suka pergi ke gereja, mendengarkan khotbah dan menatap salib besar,” ungkap Aubie saat menceritakan kisahnya menemukan hidayah mengutip tayangan YouTube Penduduk Langit.

Memasuki masa remaja, Aubie suka memberontak. Perilaku kasar ayahnya dan kurangnya perhatian ibu membuatnya mulai membenci keluarganya. Yuk lanjut scroll artikel selengkapnya berikut ini.

Ilustrasi berdoa.

Photo :
  • Freepik

Sebagai pelarian, Aubie banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman dan mulailah Aubie bersinggungan dengan minuman keras dan obat-obatan. Untunglah fitrahnya masih cukup dominan.

Saat berusia 18 tahun dia terdorong untuk menjadi relawan pemerintah. Pilihannya ini juga menjadi solusi berpisah dari keluarganya yang ia rasa tidak mempedulikannya. 

“Aku meninggalkan rumah ketika aku berusia 18 tahun dan bepergian dengan sekelompok relawan yang disponsori pemerintah selama satu tahun,” ujar Aubie. 

Sekembalinya ke rumah, dia masuk ke Perguruan Tinggi. Menjadi seorang mahasiswa, Aubie juga memiliki pekerjaan sampingan di instansi pemerintah yang menangani anak-anak bermasalah.

Ilustrasi Ramadhan/berdoa.

Photo :
  • Freepik/jcomp

“Selama aku bekerja di dua instansi pemerintah yang berbeda. Aku melihat semua jenis anak-anak dilecehkan dan dirusak. Ini benar-benar membuatku menderita,” jelasnya.

Beban berat yang dirasakannya membuat Aubie yang masih berusia 25 tahun saat itu menjadi depresi. Dia mencoba mengiris pergelangan tangannya, namun tindakannya itu malah membuatnya takut kepada Tuhan. 

“Satu malam di musim semi, aku memutuskan untuk bunuh diri. Aku menyiapkan handuk dan berlari menuju air panas di wastafel kamar mandi. Aku mengambil pisau tajam dan mencoba mengiris pergelangan tanganku. Keluar sedikit darah, tiba-tiba aku berteriak kesakitannya dan rasa takut menghinggapiku. Aku takut pada Tuhan bahwa aku telah menyerah,” ucap Aubie.

Hari minggu setelah kejadian itu, dia pergi ke gereja. Dia mengaku menangis selama satu bulan setiap kali ke gereja. Lantaran hal itu, dia kemudian mulai belajar mendalami ajaran agama Kristen di Gereja Anglikan.

Pada 11 September 2001 seluruh dunia seakan berubah baginya. Seperti diketahui pada tanggal tersebut terjadi peristiwa yang dikenal dengan serangan 9/11 sebuah serangan terorisme di Amerika Serikat yang menewaskan ribuan orang

“Aku sangat terkejut dan ngeri. Aku merasa seolah-olah Tuhan menamparku. Peristiwa itu tidak pernah dapat dibayangkan sebelumnya. Akupun takut seperti orang lain, lalu aku mulai bertanya-tanya tentang apa yang dikatakan media,” tuturnya.

Sosoknya yang kritis itu membuatnya tidak mudah percaya begitu saja tentang pemberitaan terkait serangan 9/11 di tahun 2001 silam seperti yang diberitakan media kala itu. Terlebih dia memiliki teman-teman Muslim yang sama sekali berbeda dengan apa yang diungkap di media.

“Aku melihat teman-temanku yang muslim di tempat kerja. Mereka orang-orang baik, bukan teroris. Aku mulai berbicara dengan mereka. Pada awalnya ka tertarik pada aspek geopolitik apa yang sedang terjadi. Mengapa ‘mereka’ membenci kita? Kemudian aku menemukan apa yang dilakukan pemerintah barat di Timur Tengah dan Afrika Utara selama berabad-abad. Tidak heran mereka membenci kita,” beber Aubie. 

Aubie kemudian melakukan penelitian tentang Islam, ide-ide Islam kemudian merayap di pikirannya. Aubie kemudian mencari orang-orang yang bisa membantunya di daerah itu. Hingga akhirnya seorang pria bernama Mohaed Saffie bersedia mengajarinya bahasa Arab dasar. 

Semakin dia mempelajari Islam, Aubie semakin tertarik dengan Islam. Terlebih setelah ia mendapatkan terjemahan Al Quran dalam bahasa Inggris.

“Aku sangat tertarik dengan kitab ini, rasanya seperti kata-kata yang aku cari selama ini,” kata Aubie.

Dalam meneliti Islam itu, Aubie mendengarkan adzan dari sebuah masjid di daerah yang dikunjunginya. Entah mengapa dia menangis saat mendengar panggilan solat tersebut. 

“Perasaanku seperti bercampur antara kegembiraan dan kesedihan. Aku hanya ingin menangis dan menangis,” ujarnya.

Dua tahun kemudian, tepatnya di tahun 2003, Aubie bersyahadat. Namun secara terbuka dia baru memproklamirkan diri sebagai seorang mualaf di Masjid Damskus pada 1 Januari 2006 silam.

Dalam rentang masa itu dia dibimbing oleh ulama masjid Toronto Imam Hamid Slimi. Namun sayangnya, keputusannya itu mendapat tentangan dari keluarga, teman dan lingkungannya.

Ia kembali menjadi terasing bahkan lebih terasing dari masa kecilnya. Ia ditertawakan, dicemooh, dan dimaki. Meski demikian, Aubie tetap teguh dalam keislamannya.

“Sebab aku tau apa yang benar,” tegasnya.