Studi: Otak Remaja Menua Lebih Cepat Karena Lockdown Pandemi Covid-19

Ilustrasi remaja.
Sumber :
  • U-Report

VIVA Lifestyle – Otak remaja menua sebelum waktunya karena tekanan pandemi saat terjadinya lockdown, menurut sebuah studi baru.

Studi yang diterbitkan dalam "Biological Psychiatry: Global Open Science," yang membandingkan pemindaian otak remaja dari sebelum pandemi Covid-19 dan pada akhir pandemi di tahun pertama, menemukan bahwa otak mereka "menua" dengan usia tiga tahun hanya dalam waktu sekitar 10 bulan. Scroll untuk simak artikel selengkapnya.

Penelitian ini awalnya dimulai delapan tahun lalu, sebagai studi longitudinal terhadap 128 anak antara usia 9 dan 13 tahun. Tujuannya adalah untuk melihat tingkat depresi di kalangan remaja dan jika ada perbedaan gender, melansir Washington Post, Jumat, 2 Desember 2022. 

Ilustrasi remaja.

Photo :
  • Pixabay/ PublicDomainArchive

Namun, Covid-19 menghentikan penelitian setelah pemindaian ketiga peserta. Setiap pemindaian awalnya dimaksudkan untuk diambil dua tahun terpisah untuk mengukur perubahan pada anak-anak.

Para ilmuwan yang mengerjakan penelitian tersebut memutuskan untuk mengubah tujuannya untuk mengamati bagaimana pandemi dapat memengaruhi struktur fisik otak remaja serta kesehatan mental mereka.

Peneliti memasangkan peserta dengan usia dan jenis kelamin yang sama dan mengurutkannya ke dalam subkelompok - pubertas, status sosial ekonomi, dan jenis stres masa kanak-kanak, untuk menilai perubahan di otak mereka dengan benar.

“Itu memungkinkan kami untuk membandingkan anak usia 16 tahun sebelum pandemi dengan anak usia 16 tahun lainnya yang dinilai setelah pandemi,” kata Ian Gotlib, penulis utama makalah dan profesor psikologi dari Stanford University.

Ilustrasi otak.

Photo :
  • Times of India

Melalui perbandingan ini, para peneliti menemukan bahwa remaja yang mengalami pandemi memiliki tingkat kecemasan dan depresi yang lebih tinggi, menurut Washington Post.

Studi ini juga menemukan pertumbuhan di daerah otak hippocampus dan amigdala peserta, yang masing-masing mengatur memori dan membantu memproses emosi seperti ketakutan dan stres.

Gotlib mengatakan penelitian ini berfungsi sebagai pengingat bahwa hanya karena penguncian telah berakhir, bukan berarti semua orang telah pulih.

“Bagi saya kesimpulannya adalah ada masalah serius dengan kesehatan mental dan anak-anak di saat pandemi berlangsung. Hanya karena penutupan berakhir bukan berarti kami baik-baik saja,” tuturnya.