Wacana Pelabelan BPA Air Galon Dinilai Hanya untuk Persaingan Usaha

Ilustrasi galon.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA Lifestyle – Para pedagang kelontong yang menjual air minum dalam kemasan, baik galon guna ulang maupun sekali pakai menilai wacana isu pelabelan Bisphenol A (BPA) hanya untuk persaingan usaha saja. Mereka mengatakan tidak akan terpengaruh dengan adanya wacana ini.  

“Itu cuma persaingan usaha saja. Saya sudah puluhan tahun jual air galon isi (guna) ulang tapi nggak ada yang komplain dari pelanggan saya. Bahkan kami sekeluarga juga menggunakan air isi ulang yang kami jual kok, tapi nggak sakit-sakitan juga,” kata Taufan, pedagang kelontong di wilayah Cisalak Pasar, Depok, melalui keterangan yang diterima VIVA, Selasa 20 September 2022. Scroll untuk info selengkapnya.

Dia juga mengutarakan tetap menjual semua air galon baik yang guna ulang maupun sekali pakai untuk variasi produknya.  

“Tapi, galon guna ulang ini lebih banyak karena memang lebih laku ketimbang air galon sekali pakai. Saya paling cuma menyediakan 5 galon saja untuk yang sekali pakai," tukasnya. 

Ilustrasi galon.

Photo :
  • Pixabay

Warung-warung di daerah Jakarta dan Bandung juga memiliki pandangan yang sama. Pemilik Warung Sembako Ani Daeng yang terletak di Pela Mampang, Jakarta Selatan misalnya. Muhammad Basri yang sudah puluhan tahun menjual air galon di warungnya itu mengatakan belum mendengar adanya laporan dari para pelanggannya ada yang sakit karena meminum air galon. 

“Belum ada komplen sakit ya. Jadi, saya kira isu bahaya air galon untuk kesehatan itu hanya politik dagang saja. Kan ada produk yang baru keluar itu galon sekali pakai,” ujarnya. 

Latif, pemilik Warung Latif yang terletak di Kota Bandung bahkan mengatakan jika air galon isi (guna) ulang itu bisa menyebabkan penyakit kanker, kenapa tidak ditarik dari dulu. 

“Saya sudah dari 2012 jualan air galon isi (guna) ulang ini, tapi belum ada yang komplen kok,” katanya.

Ilustrasi BPA.

Photo :
  • Pixabay.

Sebelumnya, Komisioner  KPPU, Chandra Setiawan, melihat polemik kontaminasi BPA yang berujung pada upaya pelabelan produk air galon guna ulang ini berpotensi mengandung diskriminasi yang dilarang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 

"Hal itu disebabkan 99,9 persen industri ini menggunakan galon tersebut, dan hanya satu yang menggunakan galon sekali pakai,” katanya. 

Dia menegaskan kalau pelabelan 'berpotensi mengandung BPA' itu didasarkan pada keresahan terkait kontaminasi zat kimia berbahaya, selayaknya seluruh produk dikenakan perlakuan serupa. 

"Apalagi, itu harus ada penelitian dan juga pembahasan bersama pelaku usaha. Karena ini upaya untuk melindungi semua, bukan sebagian,” tegasnya.

Ilustrasi minum dari botol plastik.

Photo :
  • U-Report

Karenanya, dia mengatakan adanya perbedaan perspektif antara BPOM dan KPPU dalam melihat revisi kebijakan yang akan melabeli 'berpotensi mengandung BPA' pada galon guna ulang. Menurutnya, kalau perspektif BPOM demi kesehatan masyarakat, tapi perspektif KPPU adalah jangan sampai regulasi itu dibuat untuk menguntungkan perusahaan tertentu saja. 

Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar (Mintegar), Edy Sutopo, dengan tegas mengatakan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tidak setuju dengan wacana BPOM untuk melabeli 'berpotensi mengandung BPA' pada kemasan AMDK. Menurutnya, pelabelan itu hanya akan menambah cost yang mengurangi daya saing Indonesia. 

“Jadi, menurut kami pelabelan BPA saat ini belum diperlukan. Itu hanya akan menambah cost atau mengurangi daya saing Indonesia,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Sementara, kata Edy, substansi isunya sendiri masih debatable.  

Ilustrasi kemasan botol minum atau BPA.

Photo :
  • iStockphoto.

“Sebenarnya, yang diperlukan itu adalah edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat bagaimana cara handling dan penggunaan kemasan yang menggunakan bahan penolong BPA dengan benar. Jadi, bukan malah memunculkan masalah baru yang merusak industri,” ucapnya.

Seperti diketahui, Sekretariat Kabinet telah mengembalikan draf revisi Peraturan BPOM nomor 31 tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan yang diajukan BPOM untuk diperbaiki karena dinilai bersifat diskriminatif terhadap satu produk tertentu saja.