Bukan Cina, Pakar Tegaskan Etnis Tionghoa Bagian dari Budaya Indonesia

Ilustrasi wanita China.
Sumber :
  • Your Tango.

VIVA – Sebagian masyarakat Indonesia masih cenderung mencampuradukkan etnis Tionghoa Indonesia dengan Cina. Persepsi tersebut kembali muncul di permukaan seiring dengan meningkatnya kehadiran RRC di Tanah Air, melalui investasi dan tenaga kerjanya. 

Demikian disampaikan oleh Johanes Herlijanto, ketua sekaligus pendiri Forum Sinologi Indonesia, dalam pernyataannya, saat menanggapi isu mengenai tenaga kerja Cina yang merebak kembali beberapa minggu terakhir ini. 

Menurut dosen Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan itu, kecenderungan mencampuradukkan Cina dan etnik Tionghoa tersebut tidak tepat, mengingat etnik Tionghoa di Indonesia sebenarnya telah berakar pada budaya dan identitas lokal setelah mengalami proses akulturasi selama berabad-abad. 

"Alih-alih berorientasi pada ‘tanah leluhur,’ mereka kini berpegang pada peribahasa luodi shenggen, yang artinya, kurang lebih, berakar pada tanah di mana mereka tinggal,” jelas Johanes dalam keterangannya, Kamis 16 Juni 2022. 

Warga Tionghoa beribadah di Wihara Dharma Bakti saat perayaan Imlek.

Photo :
  • VIVA.co.id/Eka Permadi

Dalam pandangan Johanes, kecenderungan menyamakan antara Cina dan etnik Tionghoa di Indonesia merupakan sisa dari problema kewarganegaraan yang pernah muncul pada awal abad lalu. Menurut penjelasannya, sejak berdiri di awal abad ke-20, Republik Cina (Nasionalis) telah menganggap semua orang Tionghoa yang tinggal di luar Cina sebagai warganya.  

"Kebijakan ini menimbulkan ketidakjelasan status kewarganegaraan bagi orang Tionghoa di Indonesia, yang pada masa itu juga telah mewarisi kewarganegaraan Hindia Belanda, sebagai konsekuensi dari pemberlakuan Undang-Undang Kewarganegaraan Belanda pada tahun 1910,” tuturnya. 

Sebagai akibat dari ketimpangtindihan status kewarganegaraan di atas, Tionghoa di Indonesia menghadapi sebuah permasalahan yang dikenal sebagai dwikewarganeraan. Permasalahan tersebut menimbulkan ganjalan bagi kedua negara sejak hubungan diplomatik antara Indonesia dan Cina mulai berlangsung di tahun 1950.  

"Apalagi pada tahun-tahun awal dasawarsa 1950-an, RRC berupaya memengaruhi komunitas Tionghoa di Indonesia agar lebih mendekat pada Beijing, yang saat itu sedang berebut pengaruh dengan pemerintahan Cina Nasionalis di Taipei,” ujarnya. 

Ilustrasi Pedagang di Pasar Pancoran Glodok menjual pernak-pernik Imlek 2021.

Photo :
  • VIVA/Dusep Malik

Menurut pandangan Johanes, penyebab RRC melakukan upaya di atas melalui kedutaan besarnya di Jakarta adalah karena Cina saat  itu masih menganggap seluruh Tionghoa perantauan di luar Cina, termasuk Tionghoa Indonesia, sebagai warganya. 

Meski demikian, merujuk pada karya Rizal Sukma yang berjudul Indonesia and China: the Politics of a Troubled Relationship, Johanes menceritakan bahwa upaya Cina tersebut menimbulkan kecurigaan di kalangan elite politik Indonesia saat itu. Namun kedua negara pada akhirnya menemukan solusi atas permasalahan di atas pada tahun 1955, melalui penandatanganan sebuah perjanjian yang dikenal sebagai perjanjian dwikewarganegaraan. 

Dalam pandangan Johanes, penandatanganan di atas terkait erat dengan perubahan sikap Beijing terhadap orang Tionghoa perantauan, sebagai diungkapkan oleh Profesor Suryadinata dalam buku berjudul The Rise of China and The Chinese Overseas: A Study of Beijing’s Changing Policy in Southeast Asia and Beyond

Bila sebelumnya Cina menganggap semua Tionghoa perantauan sebagai warganya, maka sejak 1955 Beijing mendorong Tionghoa peranakan untuk berintegrasi dengan masyarakat di mana mereka tinggal. 

Ilustrasi Peta negara China.

Photo :
  • U-Report

Sikap Cina di atas dipertegas kembali pada tahun 1980, ketika Beijing menerbitkan sebuah undang-undang kewarganegaraan, yang secara tegas melepaskan pengakuan Cina atas orang Tionghoa Perantauan yang telah memperoleh kewarganegaraan asing. Dalam hal Tionghoa Indonesia, perjanjian dwikewarganegaraan di atas segera dilaksanakan beberapa tahun sejak penandatanganan perjanjian itu. 

"Namun berdasarkan catatan Profesor Leo Suryadinata, hingga awal tahun 1970an, baru dua perlima dari orang Tionghoa yang telah menjadi warga negara Indonesia,” tegas Johanes.  

Jumlah etnik Tionghoa yang beralih menjadi Warga Negara Indonesia meningkat pada dasawarsa 1980-an, seiring dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No 13/1980 yang memberi kemudahan bagi orang Tionghoa yang masih memegang kewarganegaraan asing untuk mengajukan diri menjadi warga negara Indonesia.

Sebagai hasil dari percepatan proses naturalisasi di atas, maka seluruh orang Tionghoa Indonesia dewasa ini adalah sepenuhnya Indonesia, baik secara kewarganegaraan maupun identitas budaya. Menurut Johanes, generasi yang didominasi oleh orang Tionghoa yang lahir atau tumbuh dewasa di zaman pemerintahan Orde Baru itu tidak memiliki memori mengenai Cina sebagai ‘tanah leluhur.’ Bagi mereka, Indonesia adalah Tanah Air mereka. 

Seorang warga sedang sembahyang di Klenteng Tay Kek Sie Gang Lombok Semarang.

Photo :
  • tvOne/ Teguh Joko Sutrisno

Oleh karenanya, Johanes berpendapat bahwa kecenderungan mencampuradukkan antara Tionghoa dan Cina sudah dianggap usang dan harus ditinggalkan. Namun demikian, dalam pandangannya, kembalinya minat Cina pada urusan terkait Tionghoa di luar Cina dalam satu dasawarsa terakhir ini berpotensi melanggengkan kembali kecenderungan usang di atas. 

"Menurut Profesor Suryadinata, minat ini muncul kembali karena kepemimpinan Cina masa kini menganggap Tionghoa di luar Cina sebagai aset bagi negara mereka,” papar Johanes. 

Sebagai contoh, dalam pidatonya di tahun 2014, Presiden Xi Jinping menyebut seluruh etnik Tionghoa sebagai 'putra dan putri bangsa Cina' (Zhonghua Ernu), 'saudara sebangsa dari seberang lautan' (haiwai qiaobao), dan 'anggota dari keluarga besar bangsa Tionghoa' (zhonghua dajiating). 

Sementara itu, khusus terhadap Tionghoa Indonesia, pemerintah Cina, melalui perwakilannya di Indonesia, seringkali mengimbau agar Tionghoa berperan sebagai jembatan bagi hubungan Indonesia dan Cina. 

Johanes berpendapat bahwa upaya RRC untuk mendekati baik orang Tionghoa maupun masyarakat Indonesia lainnya perlu dipahami dalam konteks ekspansi ekonomi Cina, yang dibarengi dengan diplomasi budaya untuk menanamkan kuasa lunak (soft power). Oleh karenanya, penting bagi seluruh komponen bangsa Indonesia, termasuk etnik Tionghoa, untuk menentukan sikap yang paling tepat dalam konteks di atas.