PPKM Darurat, Ini Hukum Sholat Idul Adha di Rumah Menurut MUI

Potong sapi di Hari Raya Idul adha/Ilustrasi.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko

VIVA – Hari Raya Idul Adha akan dilaksanakan besok, Selasa 20 Juli 2021 di tengah pelaksanaan PPKM Darurat dalam upaya menghindari penyebaran virus COVID-19. Bahkan pemerintah pun meminta umat muslim untuk melaksanakan ibadah sholat Idul Adha di rumah saja dan tidak membuat kerumunan di lapangan. 

Dilansir dari nu online, Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH Mukti Ali Qusyairi menuturkan, prosesi Lebaran Idul Adha tidak boleh hanya dipandang sebagai dimensi ritual tahunan semata. Karena sholat Idul Adha dan kurban memiliki dimensi-dimensi dan makna yang fungsional untuk mewujudkan tujuan pewahyuan risalah keislaman. 

“Mungkin sebagian masyarakat mengasumsikan bahwa shalat Idul Adha harus berjamaah, padahal itu tidak. Karena hukum sholat Idul Adha sendiri adalah sunnah muakkadah, itu menurut pendapat Imam Syafi'i. Jadi, pelaksanaannya boleh dilakukan secara munfarid (sendiri), yakni tidak berjamaah,” kata Kiai Mukti Ali saat dihubungi NU Online.

Bahkan, kata dia, sebagaimana tertuang dalam kitab Hasyiyah Ibrahim al-Bajuri ala Fathil Qarib bahwa tidak ada kewajiban melakukan sholat Idul Adha secara berjamaah di masjid. Apalagi di musim wabah pandemi seperti sekarang kewajiban untuk melaksanakannya di rumah lebih ditekankan sebagai ikhtiar memutus rantai penularan. 

“Melakukan sholat Idul Adha di masjid itu lebih utama karena memuliakan masjid, kecuali bila ada udzur (halangan). Nah, sekarang kan udzurnya pandemi, kalau memaksakan untuk kumpul di masjid itu kan bisa bahaya,” katanya lagi. 

Sedangkan dalam Qawaid al-Fiqhiyyah (Kaidah-Kaidah Fikih), lanjut dia, bahaya itu harus dihilangkan dan harus dihindari agar tidak membahayakan diri sendiri atau orang lain. Maka, sudah jelas imbauan yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama RI bertujuan untuk mencegah terjadinya kemudaratan.  

“Kalau berkumpul kemudian saling menularkan berarti kan membahayakan orang lain dan itu hukumnya haram,” katanya.

Terlepas dari itu semua, perasaan dilematis tentu akan menyelimuti hati umat muslim mengingat sebelumnya terdapat pula aturan peniadaan shalat Idul Fitri di rumah saja. Namun, menurut kiai Mukti, momentum ini tanpa disadari justru dapat menambah ganjaran pahala bagi yang menaatinya.  

“Pertama, sholatnya sah meskipun munfarid. Kemudian dia juga mendapat pahala karena berusaha untuk tidak membahayakan orang lain dan dirinya sendiri,” tutur Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta ini.  

Secara khusus, Kiai Mukti mengingatkan kembali esensi sebenarnya dari Lebaran adalah memohon ampunan dalam rangka menambah ketaatan kepada Allah SWT. 

“Jadi, Lebaran itu bukan untuk orang yang memperindah pakaiannya atau kendaraannya, tetapi Lebaran itu untuk orang yang diampuni dosanya,” kata dia.