Terkuak, Alasan Banyak Istri Gugat Cerai Suami di Masa Pandemi
- VIVA/Vicky Fajri
VIVA – Belakangan ini, ramai perbincangan mengenai maraknya istri menggugat cerai ke Pengadilan Agama di masa pandemi virus corona. Diketahui, perceraian di masa pandemi COVID-19, khususnya di Indonesia, mengalami peningkatan secara signifikan di beberapa daerah.
Salah satu contohnya di wilayah Jakarta Barat. Ketua Pengadilan Agama Jakarta Barat, Mohamad Yamin, menyebut hingga Agustus 2020, sudah ada 2.288 kasus perceraian.
Dan dari jumlah tersebut, ternyata sebanyak 80 persen kasus gugatan cerai di Pengadilan Agama, diajukan oleh pihak istri.
Menurut psikolog pemerhati keluarga, M Agus Syafii, hal ini terjadi lantaran banyaknya suami yang terkena PHK, yang berdampak pada perekonomian keluarga, sehingga menimbulkan konflik yang berujung gugatan perceraian dari pihak istri.
"Di masa pandemi ini banyak suami yang kehilangan pekerjaan. Sehingga masalah perekonomian menjadi gangguan yang serius dalam kehidupan rumah tangga. Hal ini berimbas pada tanggung jawab istri yang bertambah besar untuk memenuhi kebutuhan keluarga, yang melebihi batas kesanggupan seorang istri," ujarnya lewat rilis yang diterima VIVA, Kamis 3 September 2020.
Selain faktor ekonomi, menurut Agus, lebih banyak berada di rumah bersama pasangan juga dapat memicu pertengkaran lebih sering. Ketika lebih sering berdua, akan lebih banyak bermasalah.
Belum lagi, di masa pandemi juga terjadi peningkatan kehamilan, yang juga bisa menimbulkan masalah baru bagi beberapa pasangan.
"Banyak istri hamil dan menjadi tanggung jawab atau beban istri jadi lebih berat. Karena pekerjaan rumah, cuci, gosok, dan lain-lain, tertumpu pada istri. Ini yang jadi masalah atau pemicu pertengkaran dalam rumah tangga di tengah pandemi," lanjut dua.
Menurut Agus, terjadinya konflik rumah tangga yang tak terselesaikan dan berlarut-larut, membuat pasangan menganggap bahwa perceraian adalah sebuah solusi. Padahal, tidak demikian.
"Perceraian bukan solusi terbaik dalam menghadapi masalah rumah tangga. Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut yaitu konsultasi keluarga. Pola terapi konflik keluarga yang digunakan adalah Dialogis Emansipatif," saran dia.
Guna meminimalisir konflik, seharusnya konsultasi dilakukan sebelum menikah. Menurut Agus, hal itu dilakukan agar pasangan memahami betul bahwa niat menikah itu penting.
Niat dan cara yang benar, akan menghasilkan pernikahan yang benar juga. Namun, jika sudah terlanjur menikah, melakukan konsultasi pernikahan juga belum terlambat.
"Rumah Amalia hadir untuk membantu memberikan solusi konsultasi pra dan pasca pernikahan, kepada pasangan. Pasangan yang akan menikah pun bisa konsultasi melalui WA atau telepon, ataupun dapat datang ke lokasi dan itu free atau tidak dipungut bayaran," kata dia.
Agus turut memberikan tips cara menjaga rumah tangga agar tetap langgeng. Yaitu saling memberi, memaklumi dan memaafkan.
"Kalau pasangan suami-istri di dalam benaknya atau pikirannya ingin saling memberi, maka keduanya tidak akan ada saling menuntut," tutur Agus Syafii.