Lima Tradisi Perayaan Tahun Baru Islam di Indonesia

Tradisi Mubeng Benteng di Keraton Yogyakarta setiap malam 1 Suro
Sumber :
  • Twitter Kraton Jogja

VIVA – Tahun Baru Islam jatuh pada hari ini, Kamis 20 Agustus 2020. Hal ini berarti, akan ada banyak perayaan yang dilakukan masyarakat Indonesia untuk menyambut 1 Muharram 1442 H.

Percampuran budaya masing-masing daerah dengan ajaran agama islam, menciptakan tradisi unik untuk merayakan tahun baru islam tersebut. Berikut ini sejumlah perayaan 1 Muharram di berbagai daerah di Indonesia yang dilansir dari berbagai sumber.

1. Kirab kebo bule

Tradisi ini dilakukan oleh Keraton Kasunanan Surakarta. Kirab Kebo Bule melibatkan sekawanan kerbau atau kebo dalam bahasa Jawa, yang dipercaya keramat, yaitu Kebo Bule Kyai Slamet. Kirab akan berlangsung tepat di tengah malam. Orang-orang akan berjalan mengikuti kirab dan saling berebut untuk menyentuh tubuh kerbau tersebut. 

Tidak hanya menyentuh, mereka bahkan menunggu kerbau tersebut membuang kotoran. Begitu kotoran jatuh ke jalan, orang-orang akan berebut untuk mendapatkannya. Mereka menamai tradisi berebut kotoran ini sebagai ritual ngalap berkah atau mencari berkah dari Kyai Slamet.

Baca juga: Ini Amalan Utama Tahun Baru Islam yang Istimewa

2. Nganggung

Nganggung adalah salah satu tradisi yang hadir di masyarakat Melayu Bangka Belitung, khususnya di Pulau Bangka. Nganggung merupakan adat membawa makanan dari masing-masing rumah penduduk menuju ke satu tempat pertemuan besar, biasanya berupa Masjid, Surau, Langgar, atau Lapangan pada waktu-waktu tertentu di dalam Agama Islam, seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, Nisfu Sya'ban, Muharram, serta selepas shalat Idul Fitri dan Idul Adha. 

Nganggung sering disebut juga Sepintu Sedulang karena setiap rumah (sepintu atau satu pintu) membawa 'satu dulang (sedulang), yaitu wadah kuningan maupun seng yang digunakan untuk mengisi makanan dan kemudian ditutup dengan penutup dulang, yaitu Tudung Saji.

Tradisi yang telah menjadi adat Melayu Bangka memberikan pemaknaan kekeluargaan yang kokoh di antara masyarakat Melayu dan menjadi sarana untuk mempererat silaturrahmi di antaranya. 

Rangkaian acara nganggung biasanya diisi dengan doa-doa maupun ceramah agama yang temanya disesuaikan dengan momen hari pelaksanaan Nganggung itu, seperti Maulid Nabi dan sebagainya. 

3. Ledug Suro

Ledhug Suro adalah salah satu perayaan di Jawa Timur yang diselenggarakan oleh masyarakat Kabupaten Magetan, dalam rangka memperingati Tahun Baru Islam atau Tahun Baru Hijriah (Muharamm) yang juga bertepatan dengan 1 Suro. Dalam perayaan Ledug Suro ini terdapat juga ritual Ngalub Berkah Bolu Rahayu, yang dipercaya membawa rejeki bagi masyarakat sekitar. 

Dalam prosesi Ledug Suro, diakhiri dengan kegiatan kirap yang membawa Roti Bolu dalam bentuk Lesung dan Bedhug di alun-alun Magetan yang diikuti oleh Bagus dan Dyah Magetan dan beberapa hasil bumi Magetan.

Baca juga: Akun Twitter Ahli Epidemiologi UI Pandu Riono Diduga Diretas

4. Barik'an

Merupakan tradisi yang dilakukan masyarakat di Jawa dalam memperingati 1 Muharram. Dalam kegiatan inu masyarakat akan berbondong-bondong ke tempat acara selametan berlangsung dengan membawa sega (nasi) lengkap dengan lauk pauk (tempe, tahu dan sayur) atau sering disebut warga dengan istilah "Encek" yang diletakkan di tengah-tengah kerumunan.

Encek biasanya diletekaan pada wadah yang terbuat dari pelepah pohon pisang dan rakitan/anyaman bambu.Encek tersebut dimaksudkan untuk ikut disertakan dalam doa’ yang akan dipanjatkan bersama-sama.

Setelah masyarakat sudah berkumpul semua, mulailah doa dipanjatkan. Harapanya dengan masuknya tahun baru hijriah ( 1 suro) masyarakat daerah setempat mendapat “keselamatan” dalam kehidupanya.

Setelah proses doa selesai, warga kembali berbondong-bondong mengambil Encek untuk dibawa pulang, namun biasanya warga akan mengambil encek yang bukan miliknya dengan kata lain ada prosesi tukar-menukar Encek.

https://pundungsari-tempursari.lumajangkab.go.id/index.php/first/artikel/76--Barik-an-Suro--Tradisi-Turun-temurun-Menyambut-Tahun-Baru-Hijriah--1Suro-

5. Mubeng Benteng

Tradisi Mubeng Benteng ini merupakan jalan memutari benteng Keraton Yogyakarta. Selama mengikuti prosesi Mubeng Beteng, peserta diharuskan untuk melakukan tapa bisu atau tidak berbicara.

Acara Mubeng Benteng ini biasa diikuti oleh para abdi dalem Keraton Yogyakarta dan masyarakat umum. Biasanya ada ribuan peserta dari masyarakat umum yang ikut dalam prosesi Mubeng Beteng ini.

Iringan Mubeng Beteng diawali dengan rombongan abdi dalem Keraton Yogyakarta yang memakai pakaian Jawa Peranakan. Para abdi dalem ini membawa sejumlah pusaka milik Keraton Yogyakarta dan sebuah bendera merah putih. Selama mengikuti prosesi Mubeng Beteng, para abdi dalem tidak memakai alas kaki saat berjalan.

Adapun rute perjalanan adalah berangkat dari Keben Keraton Yogyakarta menuju ke Jalan Rotowijayan, Jalan Kauman, Agus Salim, Wahid Hasyim, Suryowijayan.

Setelahnya melintasi pojok Benteng Kulon, MT Haryono, Mayjen Sutoyo, pojok Benteng Wetan, Brigjen Katamso, Ibu Ruswo, Alun-alun Utara dan kembali ke Keben. Total jarak yang ditempuh kurang lebih 5 kilometer.

Tradisi Mubeng Beteng dimulai kurang lebih pukul 00.00 WIB atau bersamaan dengan dibunyikannya lonceng Kyai Brajanala yang ada di regol Keben Keraton Yogyakarta. Lonceng Kyai Brajanala ini dibunyikan sebanyak 12 kali.