Menilik RUU Ketahanan Keluarga dan Kemampuan Milenial Membeli Rumah

Ilustrasi beli rumah.
Sumber :
  • U-Report

VIVA – Beberapa waktu lalu, rancangan Undang-undang (RUU) Ketahanan Keluarga yang saat ini sedang ramai diperdebatkan mewajibkan pasangan yang sudah resmi menikah untuk memiliki tempat tinggal layak huni. Draf RUU ini juga mengatur pemisahan kamar antara orang tua dengan anaknya dan antara anak laki-laki dengan anak perempuan.

Dari draf RUU Ketahanan Keluarga, setidaknya ada dua pasal mengatur soal tempat tinggal layak huni, yakni Pasal 33 dan 36. Pasal 33 mengatur tanggungjawab keluarga untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal layak huni termasuk memiliki ruang tidur yang tetap dan terpisah antara orang tua dan anak serta terpisah antara anak laki-laki dan perempuan.

Sementara Pasal 36 mengatur agar pemerintah untuk memfasilitasi tempat tinggal layak huni untuk keluarga dengan memberikan bantuan. Di antaranya bantuan dana renovasi rumah tidak layak huni, subsidi rumah layak huni bagi Keluarga yang tidak memiliki rumah, keringanan pinjaman kredit kepemilikan, pembangunan dan atau renovasi rumah tidak layak huni serta penyediaan rumah susun umum dan rumah bersubsidi yang layak huni.

Diahhadi Setyonaluri, Peneliti Lembaga Demografi FEB Universitas Indonesia menyebut bahwa rumah layak huni bagi sebuah keluarga idealnya adalah rumah dengan luas yang cukup untuk memenuhi standar kesehatan seperti ventilasi yang baik, toilet dan kamar mandi bersih, kamar yang cukup untuk bergerak, dirancang untuk memudahkan ruang gerak penghuni terutama bila memiliki disabilitas, serta berlokasi di tempat yang dekat dengan berbagai fasilitas pendukung. 

“Bila keluarga memiliki anak usia balita atau sekolah, maka idealnya rumah dapat memiliki halaman atau berlokasi dekat dengan ruang terbuka seperti taman bermain atau lapangan, serta memiliki jarak cukup aman dari jalan raya. Jumlah kamar bukan menjadi masalah utama karena menambah kamar memerlukan lahan dan biaya besar,” jelas Diahhadi beberapa waktu lalu.

Meskipun angka kemiskinan telah menurun, tetapi masih cukup besar jumlah rumah tangga yang tinggal di rumah tidak layak huni di Indonesia. Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) menunjukkan hingga Februari 2020 terdapat hampir 2.5 juta rumah tangga tinggal di Rumah Tidak Layak Huni (RTLH). 

Sementara Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 menunjukkan sekitar 26 persen Rumah Tangga di Indonesia tidak memiliki akses ke sumber air minum layak, dan masih ada 30 persen rumah tangga tidak memiliki akses ke sanitasi yang layak. Meskipun menurun, persentase rumah tangga yang tinggal di rumah dengan luas kurang atau sama dengan 7.2m persegi masih tersisa 8.5 persen pada tahun 2018.

Artinya, isu rumah tidak layak huni masih menjadi isu prioritas untuk diperbaiki. Karena rumah tidak layak huni akan mempengaruhi akumulasi modal manusia keluarga karena sering sakit akibat sanitasi dan ventilasi yang buruk, anak tidak bisa belajar dengan baik karena kurang penerangan, serta perempuan tidak bisa membantu menambah pendapatan rumah tangga bila rumah tidak terhubung listrik dan juga jauh dari lokasi perdagangan.

Diahhadi juga menjelaskan bahwa pemisahan kamar anak dengan orang tua dianggap sebagai salah satu cara meningkatkan kemandirian anak. Sementara pemisahan kamar anak laki-laki dan perempuan dapat dilakukan jika anak memulai memasuki usia remaja karena keduanya memiliki kebutuhan yang berbeda. Tetapi pemisahan kamar atau ruang tidur tersebut tentunya hanya relevan bagi keluarga yang memiliki sumber daya dan lahan memadai untuk mencukupi kebutuhan tersebut.

Data BPS 2018 juga menunjukkan bahwa 9.35 persen rumah tangga di Indonesia mengontrak atau menyewa rumah. Mengontrak rumah yang lebih besar mungkin bisa dijadikan solusi bila keluarga memutuskan untuk memiliki kamar terpisah untuk setiap anggota keluarga. Tetapi hal ini tentunya hanya berlaku bagi kelompok menengah keatas yang memiliki sumber daya serta memiliki akses ke informasi tentang sewa rumah besar.

Untuk memenuhi kebutuhan rumah dengan tiga kamar, bisa jadi pencari rumah terpaksa memilih lokasi lebih jauh agar harganya terjangkau. Jika mengikuti teori Bid Rent dalam Ekonomi Perkotaan, semakin jauh lokasi perumahan dari Central Business District (CBD) maka harga rumah akan semakin murah. Namun rumah tangga menghadapi biaya transportasi yang besar, baik dalam bentuk biaya dan juga waktu, akibat jarak yang jauh menuju lokasi kerja yang umumnya terletak di CBD. 

Kaum pekerja perempuan, waktu commuting-nya akan mengurangi waktu di rumah untuk mengurus anak dan rumah tangga. Mereka juga harus menanggung biaya transportasi yang besar karena lokasi yang jauh dan juga perlu ditempuh dengan multimoda. Perempuan juga akan cenderung memilih moda transportasi yang aman dari kejahatan dan pelecehan, seperti taksi atau ojek online, terutama bila harus pulang malam hari. 

Hal ini berdampak pada tambahan biaya transportasi. Sementara saat ini masih ada kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan yang masih cukup besar, sehingga gaji perempuan tidak akan cukup mengkompensasi biaya pengasuhan anak, biaya transportasi dan juga waktu yang hilang akibat commuting. 

Selain itu, dengan adanya peran gender yang masih tidak setara di rumah tangga, maka waktu commuting yang lama juga akan menambah beban perempuan karena sepulang dari bekerja, perempuan masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Sehingga hal ini akan meningkatkan peluang perempuan untuk berhenti bekerja.

“Untuk masyarakat Indonesia, dengan masih besarnya jumlah Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) dan penduduk miskin, maka pemisahan kamar anak dan orang tua bukanlah sebuah pilihan. Yang lebih penting adalah bagaimana rumah atau tempat tinggal keluarga layak dalam arti sehat, ada akses sumber air bersih, memiliki sanitasi yang baik, serta penerangan yang memadai. Bagi kelas menengah atas, opsi pemisahan kamar anak bisa dipertimbangkan dan disesuaikan dengan situasi orang tua dan kebutuhan anak,” ujar Diahhadi.

Sementara itu, Ike Hamdan, Head of Marketing Rumah.com menyatakan bahwa fakta yang ditemukan selama ini dari berbagai informasi yang dihimpun adalah kepemilikan hunian layak tinggal masih menjadi persoalan yang dihadapi oleh banyak keluarga. 

Hal ini disebabkan oleh belum meratanya kemampuan finansial masyarakat dalam memiliki hunian yang layak untuk ditinggali. Bahkan banyak keluarga yang memilih untuk menyewa rumah berukuran kecil karena keterbatasan kondisi keuangan.

“Akan menjadi persoalan baru bagi masyarakat jika RUU Ketahanan Keluarga tersebut kemudian jadi diundangkan secara resmi oleh Pemerintah dan DPR. Ini karena konsekuensinya akan banyak keluarga harus memiliki hunian minimal dengan tiga kamar tidur. Sementara harga rumah atau hunian dengan tiga kamar tidur relatif lebih mahal dibandingkan rumah/hunian dengan dua kamar tidur,” jelas Ike.

Berdasarkan data dari Rumah.com, harga minimum hunian dengan tiga kamar tidur di sejumlah kota besar di Indonesia berkisar antara Rp550 juta hingga Rp1 miliar.

Dari sejumlah kota besar seperti Jabodetabek, Medan, Bali, dan Surabaya, hunian dengan tiga kamar tidur harga minimum tertinggi berada di area Jakarta dan Bandung senilai Rp800 juta. Sementara harga minimum terendah berada di area Bogor, Depok, Kabupaten Bekasi dan Bali senilai Rp550 juta.

Data ini memiliki akurasi yang cukup tinggi untuk mengetahui dinamika yang terjadi di pasar properti di Indonesia, karena merupakan hasil analisis dari 400.000 listing properti dijual dan disewa dari seluruh Indonesia, dengan lebih dari 17 juta halaman yang dikunjungi setiap bulan dan diakses oleh lebih dari 5,5 juta pencari properti setiap bulannya.

Sementara itu, berdasarkan data Consumer Sentiment Survey 2019, sebanyak 62 persen responden mengalokasikan anggaran sebesar Rp500 juta untuk membeli hunian, sebanyak 17 persen mengalokasikan sedikit lebih besar, yakni Rp500 juta hingga Rp750 juta, dan sisanya, sebanyak 21 persen di atas Rp750 juta. Jika mengacu pada hasil survei ini, maka sebagian besar masyarakat belum mampu untuk membeli rumah dengan tiga kamar tidur.

Sementara dari data lainnya, penghasilan rata-rata pekerja dengan tingkat pendidikan sarjana adalah Rp 5 juta hingga Rp 8,5 juta per bulan dengan penghasilan tertinggi berada di Jakarta. Jika dianggap pembeli rumah adalah suami istri yang sama-sama bekerja, maka joint income rata-rata maksimal adalah Rp17 juta. 

Sehingga kalau kita mengikuti acuan bank di mana batas cicilan aman adalah 30 persen dari penghasilan, maka hunian yang dapat dicicil oleh pasangan sarjana di Jakarta, yang keduanya bekerja adalah Rp 570 jutaan. Ini tentunya di bawah harga minimum hunian tiga kamar tidur di Jakarta. Belum lagi jika ada masalah pengelolaan prioritas keuangan yang banyak gangguan.

Ike menambahkan saat ini, rata-rata perumahan di Indonesia terdiri dari dua kamar tidur, atau setidaknya persentase rumah dengan dua kamar tidur lebih banyak dibandingkan rumah dengan tiga atau lebih kamar tidur. Rumah subsidi yang disediakan Pemerintah pun hanya menyediakan dua kamar tidur. Harga rumah dua kamar tidur pun relatif lebih terjangkau dan masuk ke kantong golongan kelas menengah, yang merupakan golongan terbesar di Indonesia.

“Harga rumah subsidi saat ini adalah Rp168 juta untuk Kawasan Jabodetabek. Jika dibandingkan dengan harga rumah tiga kamar tidur terendah di kawasan yang sama, yakni sebesar Rp 550 juta, maka perbedaan harganya bisa mencapai 327 persen atau lebih dari 3 kali lipat. 

Ini artinya, jika pemisahan kamar tidur anak dan orang tua serta anak laki-laki dan perempuan menjadi suatu kewajiban, maka Pemerintah wajib pula meningkatkan standar rumah subsidi serta meningkatkan daya beli masyarakat terhadap rumah tiga kamar tidur,” tegas Ike.