Kisah Swietenia, Pungut Sampah Taruhan Nyawa
- bbc
BBC 100 Women telah mengumumkan daftar 100 perempuan yang dianggap menginspirasi dan berpengaruh dari seluruh dunia untuk tahun 2019.
Penyelam perempuan dan pendiri organisasi Divers Clean Action, Swietenia Puspa Lestari, masuk dalam daftar ini.
Sebagai seorang penyelam, Swietenia Puspa Lestari, yang akrab disapa Tenia, sangat sering menemui sampah berserakan di pantai atau permukaan laut.
Namun, pengalamannya menyelam di Perairan Berau, Kalimantan Timur, tiga tahun silam belum bisa dilupakannya.
Perempuan berusia 25 tahun itu bercerita ia tengah menyelam di kedalaman 15 hingga 30 meter di perairan Berau, saat ia melihat sampah kaleng, kantong kresek, dan saset berserakan di sisinya.
Hal itu mengejutkan, kata Tenia, karena bahkan penyelam yang belum memiliki sertifikasi advanced (lanjutan) tidak diizinkan menyelam di titik itu karena arusnya yang kencang.
"Logikanya daerah dalam, banyak arus, nggak akan ada sampah yang nyangkut, tapi di situ ada," ujar Tenia.
"Nah di situ perasaanku kesal... Ya Allah udah sedalam ini dan sesusah ini (untuk penyelam) kok masih ada sampah ditemukan?"
Dalam keadaan arus kencang seperti itu, para penyelam seharusnya berpegangan tangan erat agar tidak terseret gelombang.
Namun, Tenia memutuskan untuk mengambil risiko dan memungut sampah-sampah itu.
"Aku sampai bela-belain hidupku untuk sampah itu ... antara mati dan hidup," ujar Tenia.
Saat naik ke daratan ia dimarahi oleh instrukturnya karena apa yang dilakukannya sangat berbahaya.
"(Tapi) mau gimana? Kalau (sampahnya) nggak diambil akan mencederai hewan di sana," ujar Tenia.
Ia juga menceritakan sebagai penyelam ia sering mengira kantong plastik kresek adalah ubur-ubur, suatu pemandangan yang mungkin akan mengecoh penyu yang memakan ubur-ubur.
"Berapa banyak penyu yang sudah makan kresek?" ujar Tenia, membagikan pertanyaan yang kian mengusiknya.
Indonesia sendiri disebut sebagai produsen sampah di laut terbesar kedua setelah Cina.
Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebut jumlah sampah plastik yang masuk ke laut mencapai sekitar 1,29 juta ton per tahun.
Mulai dari Pulau Seribu
Kegelisahannya melihat polusi laut mendorong Tenia mengajak warga mengurangi penggunaan plastik dan mencegah membuangnya ke laut.
Ia kemudian mendirikan komunitas Divers Clean Action (DCA) di tahun ketiga dirinya menimba ilmu di jurusan teknik lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 2015.
Di awal pembentukan organisasinya, Tenia, yang sudah belajar menyelam dari usia sekolah, memfokuskan kegiatannya pada Pulau Seribu karena ia pernah bermukim di Pulau Pramuka dari tahun 2003 hingga tahun 2007.
Tenia mengatakan ia telah mengamati perubahan dari Pulau Seribu dari tahun ke tahun karena perkembangan masyarakat dan pariwisata yang ada.
Bertahun-tahun lalu, kata Tenia, ia masih bisa menemukan ikan badut berenang di perairan Pulau Pramuka juga terumbu karang yang cantik.
"Tapi, titik itu sekarang ketutup sampah yang nggak bisa didaur ulang," ujarnya.
DCA, yang didirikan Tenia bersama dua temannya, rutin menyelam sambil membersihkan laut di Pulau Seribu.
Mereka menemukan 63 persen sampah yang berakhir di laut adalah sampah-sampah plastik yang tidak laku dijual ke pelapak, seperti sedotan dan saset.
Tak hanya membersihkan laut, mereka juga berkeliling daerah pesisir untuk mengedukasi warga terkait pemilahan dan pengelolaan sampah.
Pengalaman pertamanya memungut sampah di kepulauan itu pun masih dikenangnya.
"Suka diledekin mbak ngapain mulung sampah?" ujarnya sambil tersenyum.
Ia pun harus berjibaku dengan bermacam-macam sampah, dari popok dan pembalut bekas pakai, hingga belatung yang menggerogoti sampah-sampah organik.
"Awal-awal jijik mau nangis. Tapi inget lagi niatnya untuk lingkungan, untuk kebaikan," kata Tenia.
Tenia mengatakan mengubah kebiasaan masyarakat pesisir, yang sering tidak peduli dengan kebersihan laut, tentu tidak mudah.
Ia mengatakan warga sering berdalih sampah laut berasal dari daratan.
Maka, Tenia dan anggota DCA lain pun melakukan percobaan untuk membuktikan pada masyarakat bahwa pemahaman itu tidak seluruhnya benar.
"Kami buktikan dengan penelitian. Kami membuat GPS modelling dengan berat sampah, lalu kami buang dari pulau ini. Ternyata dalam waktu tiga sampai tujuh hari, sampahnya balik lagi ke sini," ujarnya.
"Masyarakat jadi tahu ketika mereka buang sampah sembarangan, sampah bisa terbawa arus kemudian kembali ke pulau lagi."
Tantangan lainnya, kata Tenia, adalah resistensi masyarakat yang mengatakan apa yang disosialisasikannya, mengenai pemilahan sampah hingga imbauan pengurangan plastik, membuat mereka repot.
"Kami bercandain lagi saja (masyarakatnya) bahwa lebih ribet lagi kalau pulaunya penuh dengan sampah," ujarnya.
Tak hanya ke masyarakat, mereka juga membuat sejumlah program untuk mengajak perusahaan-perusahaan mengurangi produksi barang berbahan plastik.
Salah satunya dengan sebuah gerai makanan cepat saji, yang menyediakan sedotan bagi para pelanggannya.
Di tahun 2017, Tenia mengajak perusahaan itu untuk berpatisipasi pada kegiatan "No Straw Movement" atau "Gerakan Tanpa Sedotan".
Ia melakukan pelatihan kepada manajer dan pegawai-pegawai restoran itu untuk menghadapi para konsumen yang meminta sedotan.
Hal itu, menurut Tenia, penting karena Indonesia adalah penyumbang sampah sedotan yang besar.
"Sedotan yang dipakai sekitar 93 juta batang per hari. Kalau dijajarin, itu dari Jakarta sampai Mexico City," ujar Tenia.
Selain itu, ia juga bekerja sama dengan sebuah perusahaan air minum untuk mengangkut sampah dari Kepulauan Seribu ke daratan.
`Hewan laut butuh kita`
DCA telah berkembang ke provinsi-provinsi lain di Indonesia dengan lebih dari 1.000 relawan yang melakukan pembersihan laut juga edukasi warga pesisir soal pemilahan sampah.
Tenia mengklaim sudah banyak pula penyelam-penyelam yang semakin sadar lingkungan dan membawa kantong sampah ketika menyelam.
"Mereka kemudian tag foto-foto mereka di Instagram kami. Itu sesuatu yang aku senang sekali," ujarnya.
Meski kegiatan sosialisasi sudah gencar dilakukan, belum semua warga sadar akan pentingnya menjaga kebersihan.
Cici, seorang warga di Pulau Pramuka mengatakan masih sering melihat warga membuang sampah langsung ke laut.
"Saya sering lihat yang dibuang kayak popok gitu. Ketika dinasihati, mereka bilang lebih enak buang ke laut karena jadi tidak bau di rumah," ujarnya.
Tenia menyadari pekerjaannya jauh dari tuntas.
Ia mengaku hingga kini sering merasa emosi dan capek melihat apa yang disosialisasikannya pada warga belum berjalan sempurna.
Namun, ia sadar bahwa perubahan tidak bisa dilakukan dengan cara instan.
Tenia pun mengingat pengalamannya melepaskan ikan yang terjerat plastik saat menyelam di Pulau Pramuka.
"Walau kadang orang bilang apa yang kamu lakukan nggak penting, ketika kamu bersihin sampah, besok pasti ada lagi, ternyata itu sesuatu yang besar bagi hewan laut," ujarnya.
"Mereka butuh kita untuk menyelamatkannya."
Tenia bermimpi di masa depan dapat melihat laut Indonesia yang bersih.
"Aku mau lihat laut Indonesia bersih, nggak ada ikan-ikan atau burung di pesisir yang mati gara-gara sampah."
"Jadi nggak ada sampah aneh, seperti kasur dan lemari ditemukan di laut karena itu bukan tempat mereka," pungkas Tenia.