Tradisi Marosok, Etika Berdagang Sapi di Ranah Minang
- VIVA/ Andri Mardiansyah/ Padang
VIVA – Belajarlah etika berdagang dari pedagang sapi di Ranah Minang. Kalimat tadi sering disebut-sebut ketika membahas tata cara berdagang hewan ternak yang baik. Selama melakukan transaksi jual beli, antara penjual dan pembeli tetap menjaga kerahasiaan harga yang disepakati. Kerahasiaan harga ini menggambarkan nilai saling menghargai. Tak ada satu pun orang yang tahu berapa harga yang disepakati kecuali penjual dan pembeli itu sendiri.
Marosok. Demikian istilah nama transaksi jual beli sapi di Ranah Minang. Bagi masyarakat Minangkabau, khususnya di kalangan pedagang sapi, marosok merupakan sebuah tradisi turun menurun yang hingga kini tetap lestari dan berjaya.
Kata marosok bisa diartikan memegang atau meraba. Penggunaan kata ini sangat pas dengan tata cara penentuan harga jual beli. Di saat transaksi dilakukan, baik penjual maupun pembeli hanya melakukan gerakan salaman yang ditutupi oleh selembar kain penutup atau handuk kecil tanpa berbicara sama sekali.
Penjual akan menggunakan jarinya untuk menyebutkan nominal harga dan pembeli juga akan menawar harga dengan menggunakan jarinya. Setiap jari yang mereka mainkan, melambangkan angka puluhan ribu, ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Jika di antara mereka sudah menyepakati harga, maka genggaman tangan akan dilepaskan.
Alhasil, harga jual beli sapi itu hanya akan diketahui oleh penjual dan pedagang. Harga yang telah disetujui di antara keduanya tetap akan menjadi rahasia. Kerahasiaan harga ini kemudian menggambarkan tingginya nilai untuk saling menghargai. Terutama untuk sesama penjual. Selain itu, cara ini juga dianggap ampuh untuk meminimalisasi kemungkinan adanya persaingan harga.
Jika kemudian transaksi tidak menemukan kesepakatan, maka pembeli boleh membatalkan rencana pembelian sapi yang sudah dipilih dan memilih atau mematok kembali hewan ternak kepada penjual lainnya.
Sebaliknya, jika di antaranya mendapatkan kesepakatan harga, maka penjual akan pergi ke kantor dinas pasar untuk mengurus karcis atau surat-surat dengan membayar biaya sebesar Lima ribu.
Surat-surat itu, merupakan surat tanda bukti yang menunjukkan telah terjadinya transaksi jual beli ternak. Sehingga pembeli hewan ternak terhindar dari tuduhan pencurian hewan ternak atau hewan ternak tersebut merupakan hewan ilegal. Setelah tahapan ini selesai, maka transaksi jual beli selesai dan, pembeli dapat membawa sapi itu pulang.
Jadi intinya, tradisi marosok ini dilakukan untuk menjaga dan merahasiakan harga yang telah disepakati. Karena dahulu, penjual maupun pembeli harus melindungi harta yang mereka bawa dari pencuri pada saat melakukan perjalanan jauh untuk melakukan transaksi jual beli.
Meski sudah menjadi kebiasaan, namun ada juga beberapa pedagang yang mulai beralih ke sistem transaksi yang lain. Selain lebih efektif, juga dianggap dapat lebih menyakini para calon pembeli.
Ficky Tri Saputra salah satunya. Pemilik peternakan Tumbuh Kambang Basamo di Limau Manis Selatan Kecamatan Pauh Kota Padang ini, mulai menjajal sistem jual beli sapi ternaknya dengan menggunakan timbangan elektrik.
Menurut Ficky, dengan menggunakan timbangan elektrik, para pembeli dapat mengetahui langsung berat badan sapi yang dipilih. Beda dengan transaksi marosok, berat badan sapi masih diterka-terka, meski sebelumnya juga mungkin sudah melewati proses penimbangan.
"Kalau pakai timbangan elektrik ini, setiap pembeli dapat melihat langsung bobot sapi pilihannya. Tidak ada rekayasa berat badan," kata Ficky.
Meski demikian, Ficky memastikan jika dia sesekali tetap mengikuti tradisi marosok. Marosok menurutnya, tradisi yang tidak bisa ditinggalkan. Karena selain harus tetap dilestarikan, juga sebagai ajang mempererat silaturahmi antar sesama pedagang sapi dari berbagai daerah di Sumatera Barat.
"Sesekali saya tetap ikut tradisi marosok. Ini tradisi turun temurun yang harus bersama kita jaga. Banyak pedagang hewan ternak yang berkumpul. Dan itu, mempererat silaturahmi kita," tutup Ficky. (nsa)