Desa di India Melarang Warga Pakai Daster

- Priya Kuriyan
Sumber :
  • bbc

Dewan desa di India bagian selatan melarang perempuan untuk mengenakan daster pada siang hari.

Daster atau gaun longgar ini pada mulanya digunakan untuk pakaian tidur, tetapi selama bertahun-tahun kemudian, pakaian ini menjadi pakaian sehari-hari yang digemari jutaan perempuan, terutama ibu rumah tangga di perkotaan dan bahkan di pedesaan India.

Empat bulan lalu, dewan yang beranggotakan sembilan orang di desa Tokalapalli di negara bagian Andhra Pradesh, yang dipimpin seorang perempuan, memerintahkan perempuan muda dan dewasa untuk tidak memakai daster dari pukul 07:00 pagi sampai 19:00.

Bagi warga yang masih memakainya akan didenda 2.000 rupee atau sekitar Rp411 ribu.

Para informan akan diberikan hadiah 1.000 rupee atau Rp205.000.

Perintah ini diterapkan dengan ketat para penduduk desa dan sampai sejauh ini belum didapat laporan tentang orang-orang yang dihukum.

Salah seorang pejabat dari Dewan Desa, Balle Vishnu Murthy, mengatakan kepada BBC bahwa larangannya adalah menghentikan perempuan memperlihatkan anggota tubuhnya.

"Tidak masalah mengenakan daster di rumah, tetapi memakainya di luar rumah dapat menarik perhatian dan membuat pemakainya menghadapi masalah," katanya.

Sejumlah penduduk - perempuan dan pria - mengatakan mereka menolak perintah tersebut tetapi tetap mematuhinya karena mereka kemungkinan akan didenda.

Nilai denda tersebut cukup berarti di antara penduduk desa yang bekerja sebagai nelayan.

Ini bukanlah pertama kali daster sederhana diperhatikan "polisi moral".

Pada tahun 2014, sekelompok perempuan di sebuah desa dekat Mumbai menyatakan pemakaian daster pada siang hari sebagai "praktik tidak sopan" dan mengancam akan mendenda pelanggarnya sebesar 500 rupee atau Rp102 ribu.

Larangan tersebut menguap begitu saja karena para perempuan menolak mematuhinya.

Tetapi apa yang membangkitkan perasaan begitu kuat terkait dengan pakaian seperti daster? Dan mengapa pakaian ini begitu direndahkan orang yang sadar fesyen?

Lewat tulisan di koran Mint pada tahun 2014, Shefalee Vasudev, editor portal fashion yang baru saja diluncurkan The Voice of Fashion, mengatakan daster adalah "karung kentang tidak berbentuk dan sama buruknya dengan jamur busuk" dan dia ingin "menamakannya sebagai Pakaian Paling Kolot India".


- Priya Kuriyan

Bisnis jutaan dolar

Tetapi kepopuleran pakaian ini tidak berkurang.

Daster adalah sebuah bisnis jutaan dolar dan pasar dipenuhi berbagai rancangan siap pakai. Yang paling digemari terbuat dari katun dengan motif cap bunga dan dapat dibeli dengan harga semurah 100 rupee atau Rp20 ribu, sementara yang termahal dapat mencapai ribuan rupee.

Perancang Rimzim Dadu mengatakan daster begitu populer di antara para ibu rumah tangga karena sari, pakaian tradisional perempuan, bukanlah pakaian yang paling nyaman saat melakukan tugas rumah tangga. Daster, katanya, membuat orang bebas.

Desainer lain David Abraham menambahkan, "Ini bukanlah pakaian yang paling elegan tetapi ini telah menjadi seragam sejumlah perempuan karena kemudahannya dan praktis.

Pakaian ini memenuhi sejumlah persyaratan - pakaian dari satu bagian yang Anda bisa langsung kenakan, panjangnya selutut dan menutupi seluruh tubuh jadi juga dipandang sopan."

Baik Dadu maupun Abraham menolak keras larangan. Dadu mengatakannya sebagai "berlebihan" sementara Abraham menyatakannya "konyol".

Daster diyakini pertama kali dikenal India saat masa penjajahan Inggris sebagai pakaian tidur malam perempuan Inggris. Daster kemudian dijadikan pakaian malam perempuan kelas atas India.

"Belum jelas kapan daster berpindah dari tempat tidur ke jalan, tetapi Shefalee Vasudev mengatakan saat dia besar di tahun 1970-an di kota kecil Gujarat, dirinya melihat "ibu-ibu dan tante-tante" mengenakannya pada siang hari dan kadang-kadang memakainya saat mengunjungi pasar setempat atau toko.

Daster "pakaian pembebasan" dari sari

Di tahun 90-an, ketika dirinya pindah ke Delhi, dia terkejut melihat ibu muda mengenakannya saat mengantar dan menjemput anak mereka atau membeli sayur di jalan.

Ini menyakitkan mata, katanya, ketika perempuan memakainya dengan "rok dalam yang tidak selaras jika pakaian itu terlalu tipis dan memakai scarf agar terlihat sopan".

Vasudev mengatakan dirinya memahami kepopuleran daster di antara ibu rumah tangga kelas menengah - sebagai "pakaian pembebasan" yang membebaskan mereka dari sari yang membatasi gerakan.

Tetapi dia tidak bisa memahami "polisi moral patriarki" yang menggambarkan daster "tidak sopan" dan berusaha melarangnya.

"Daster tidak bisa dikatakan seksi atau tidak senonoh," dia menegaskan. "Pada kenyataannya, ini adalah salah satu pakaian buruk yang paling tidak seksi yang dapat dipakai perempuan."

Dia mengatakan kemungkinan alasan sebagian orang ingin melarang daster karena mereka percaya pakaian ini "lebih ke-barat-baratan, lebih modern" sehingga dipandang tidak senonoh.

David Abraham setuju, "Ketidaksenonohan ada di mata yang melihat," katanya. Dia menggambarkan larangan tersebut "sama sekali tidak logis".

Perintah dewan desa, dia katakan, didasarkan pada perbedaan gender, dan terkait dengan kekuasaan dan patriarki.

"Apa Anda pernah mendengar rapat dewan desa untuk memutuskan bentuk pakaian pria? Selalu terkait dengan pakaian perempuan. Polisi moral saat ini mempersoalkan daster, besok - entah apa lagi?"