Cerita Tim Futsal Odha Bertanding di Homeless World Cup
- http://www.homelessworldcup.org
VIVA – Stigma negatif yang melekat pada diri ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) menjadikan mereka justru memiliki ikatan kuat dalam sebuah komunitas. Memiliki misi yang sama untuk menghapus stigma negatif terhadap penyandang HIV/AIDS, pusat rehabilitasi narkoba, Rumah Cemara menggunakan media olahraga sebagai sarana untuk mengkomunikasikan pada masyarakat tentang HIV/AIDS. Futsal menjadi pilihan.
Berawal dari coba-coba dan untuk kesenangan semata, mereka yang ada di Rumah Cemara mulai merasa tertantang untuk unjuk bakat di luar. Lewat pertandingan demi pertandingan inilah mereka kemudian mengkomunikasikan seputar HIV/AIDS hingga narkoba.
"Kita tantang tim lain, ada dari satu universitas di Bandung, kali pertama kenal awalnya enggak ngobrol. Lama kelamaan rutin lawan mereka, jadi akrab ada percakapan. Mereka tanya anak mana, (saya jawab) Rumah Cemara. Setelah dijelasin itu apa, mereka minggu depannya masih mau main," kata Direktur Rumah Cemara, Aditia Taslim, saat ditemui di Bandung, Jawa Barat, 26 September 2018.
"Kita baru menyadari ini cara supaya ada conversation soal HIV, karena kalau undang seminar enggak ada yang datang. Mulailah gerakan lebih masif dengan tim lain, lebih variatif," lanjutnya.
Tak hanya mahasiswa, mereka juga mendatangi kampung-kampung dengan metode yang sama, bertanding futsal. Tanggapan yang luar biasa dari masyarakat membuat mereka optimis informasi tentang HIV/AIDS bisa tersebar dengan baik.
Tantangan semakin besar saat mereka akhirnya mengikuti turnamen Homeless World Cup. Kemenangan demi kemenangan serta dukungan besar yang diberikan pemerintah, membuat mereka akhirnya memiliki rasa tanggung jawab agar selalu memberikan yang terbaik setiap kali tampil.
Dengan tim yang selalu berbeda, ada satu kesamaan, yaitu pesertanya tidak hanya khusus ODHA, tapi mereka juga ada yang tuna wisma, korban gempa, disabilitas, diterima dengan baik untuk bergabung dalam tim ini.
"Kategori homeless enggak saklek (kaku), walaupun ada (kriteria) diserahkan National Organizer, mereka yang tahu (kategori) homeless di negara mereka seperti apa. Kalau negara lain seperti Eropa rata-rata benar-benar hidup di jalanan, shelter ke shelter, hidup dari social welfare."
Lebih lanjut Aditia menyampaikan harapannya ke depan mengenai turnamen ini. "Kita pengen ini resmi, diakui negara. Tadinya kita tidak mengharap donasi dari negara, tapi minimal pengakuan dari Kemenpora."
Untuk bisa ikut dalam tim yang bertanding keluar negeri, seleksi yang dilakukan juga tidak mudah. Dari cara pandang mengenai olah raga yang bisa memberi perubahan kecil dalam hidupnya, hingga skill yang harus mumpuni untuk masuk dan bertanding dengan tim negara lain.
"Hal-hal kecil yang kita cari motivasi, kombinasi dengan skill juga. Mau enggak mau ada pressure yang kita pertahankan. Tahun 2011 posisi 7, tahun 2012 posisi 4, jangan nge-droplah." (ase)