Kisah Perjuangan Tim Futsal ODHA Menembus Dunia
- Rumah Cemara
VIVA – Berawal dari keinginan untuk tetap sehat, rekreasi antara sesama ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) juga memiliki tim futsal. Tim futsal yang terbentuk sejak tahun 2006 ini telah melanglang buana ke banyak negara asing, dan berhasil mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional.
"Ada yang menjadi turning point di mana program bola dan Rumah Cemara secara utuh jadi dikenal di tingkat internasional, di luar field HIV. Kita ikut kompetisi online diadain Ashoka Changemakers. Mereka punya kompetisi ide, open submission banyak, ada yang temanya changing life through football," kata Direktur Rumah Cemara, Aditia Taslim, saat ditemui di Bandung, 26 September 2018.
Proses seleksi yang harus dilalui untuk mengikuti kompetisi tersebut salah satunya adalah melalui media sosial. Aditia merasa bersyukur atas dukungan masyarakat Indonesia yang aktif di media sosial. Tim mereka yang sudah terpilih 10 besar bahkan bisa masuk tiga besar karena proses seleksi menuju tiga besar ini melalui voting online.
"Kebetulan masyarakat Indonesia maniac sosmed yah, kami sangat terbantu dengan behaviour masyarakat. Kami dapat juara 1 tahun 2010, dapat US$20ribu, ini bisa dipakai untuk startup ngembangin program lebih terstruktur," ujar pria kelahiran 1984 ini.
Salah satu founder Rumah Cemara, almarhum Ginan Koesmayadi merekomendasikan untuk mengikuti kegiatan yang bisa mendukung aksi sosial bagi masyarakat yang terpinggirkan, baik karena HIV/AIDS, tuna wisma, atau penyandang disabilitas setelah terinspirasi oleh film dokumenter tentang pengalaman orang-orang tuna wisma di Homeless World Cup Football.
Akhirnya, melalui berbagai perjuangan, mereka diterima dan diundang untuk pertama kali tahun 2010 di Brasil. Sayang saat itu mereka terbentur masalah dana, sehingga batal mengikuti turnamen.
"Tiketnya mahal banget. Baru mulai (ikut) tahun 2011. Dan karena masalah Homeless World Cup itu enggak tahu tahun depan (digelar) di mana, ya susah dianggarkan. Yang dibiayai mereka hanya akomodasi," ujarnya.
Beruntung bagi Aditia dan timnya, tak hanya Menteri Pemuda dan Olah Raga yang memberi dukungan, tapi pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia di setiap negara mereka akan bertanding, juga ikut mendukung. Bahkan tak jarang para istri dari Duta Besar ataupun karyawan yang bergiliran menyiapkan makanan untuk mereka yang sudah delapan kali bertanding, dengan peringkat terbaiknya adalah peringkat 4 di Meksiko tahun 2012.
Bahkan tim asal Indonesia menjadi kesayangan di negara manapun mereka datang.
"Indonesia di Homeless World Cup kita anak emas. Karena Indonesia datang dengan gaya eksentrik, rambut aneh-aneh, berbeda-beda tiap tahun. Mohawk-lah, merah putih lah, mereka jadi bahan berita media setempat. Bahkan sebelum kita datang sudah ada beritanya," kata Aditia bangga.
Alasan lainnya adalah karena keramahan tim Indonesia. "Mau kalah, menang, selalu senyum. Sampai dikenal tukang buah pinggir jalan. Ketiga, media Indonesia sangat dibutuhkan Homeless World Cup, hampir tiap tahun coverage media Indonesia hampir sama seperti media tuan rumah."
Segera bertanding pada 11 hingga 19 November 2018, ada yang berbeda dengan tim Homeless World Cup tahun ini. Yaitu dengan keberadaan pemain wanita dalam tim.
"Kita selalu mix dari tahun 2012, ada perwakilan ODHA, ada teman mantan napi, korban gempa Lombok tahun ini juga ada. Tahun ini juga pertama kalinya bawa pemain perempuan satu," kata Aditia yang pernah mengenyam pendidikan di Selandia Baru ini.
Menggandeng anak-anak jalanan untuk ikut dilatih dan disiapkan mengikuti pertandingan, selalu ada kisah menarik yang membuat Aditia tersenyum jika harus mengingatnya kembali. Seperti saat dia membawa anak-anak jalanan ke sebuah mal untuk membeli sepatu.
Mengingat penampilan anak jalanan yang sembarangan, Aditia akhirnya memilih untuk memberitahukan lebih dahulu pada pemilik toko rencana kedatangan mereka, dan mengizinkan jika diberikan tempat terpisah agar tak mengganggu pembeli lain. Belum lagi cerita unik lainnya.
"Sama anak jalanan lebih unik. Dari yang awalnya main masih pada ngelem, kita di Rumah Cemara enggak nge-judge, enggak ngelarang, enggak nyuruh melakukan apa, biar mereka self recovery. Alhamdulillah mereka sadar sendiri."
Homeless World Cup merupakan bentuk keprihatinan pendirinya akan nasib para homelessness di Skotlandia, dan melihat bahwa sepakbola merupakan cara untuk melakukan perubahan. Dengan ikut pertandingan seperti ini, mereka yang terpinggirkan bisa percaya diri, bersih, dan rapi,
"Itu saja sudah jadi perubahan signifikan." ujarnya. (ase)