Tetenger Butet Kartaredjasa, Sigit Pramono, dan Djaduk Ferianto
- VIVA/Nur Faishal
VIVA – Jazz Gunung Bromo lahir berkat inisiasi tiga sekawan, yakni Butet Kartaredjasa, Sigit Pramono dan Djaduk Ferianto. Menginjak tahun kesepuluh, mereka membuat semacam tetenger atau penanda persahabatan yakni pameran 'Satu Jazzawarsa'.
Pameran itu dibuka di sebuah galeri dekat venue Jazz Gunung di Jiwa Jawa Resort, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, pada Sabtu, 28 Juli 2018. Pameran menyuguhkan karya-karya foto tiga sekawan, juga karya seni lukis keramik karya Butet.
"Saya hadir karena tiga sekawan. Dalam karier saya sebagai kurator, ini rekor, mengkuratori di tempat yang tinggi, 2.000 meter di atas permukaan laut, di sebuah ajang prestisius, Jazz Gunung, dan itu tiga sekawan inisiatornya. Bagi saya, ini sebuah kehormatan," kata sang kurator, Suwarno.
Menurut Suwarno, pameran tersebut mengukuhkan persahabatan Butet, Sigit dan Djaduk, dan orang-orang di dalamnya. "Jazz Gunung Bromo bukan sekadar musik, tapi peristiwa kebudayaan yang memiliki efek domino. Menggerakkan masyarakat, mengikat persahabatan dan pertemanan masyarakat," kata Suwarno.
Sigit dikenal dengan karya-karya fotonya tentang Gunung Bromo. Foto lanskap dan panorama alam melekat pada dirinya. Tapi pada pameran kali ini, foto-foto yang ditampilkan ialah tentang orang-orang dan aktivitasnya. Orang-orang bermusik dan sekitarnya.
Begitu pula dengan Djaduk. Dia merekam orang-orang musik dari tradisional sampai modern. Dia menyebut mereka yang direkam dalam foto dengan sebutan ngeng. "Fotografi energinya sama dengan musik. Bagi saya, fotografi sebuah upaya melatih kepekaan diri saya," ujar Djaduk.
Butet menghadirkan seni rupa dengan bahan utama keramik. Kenapa bukan medium kanvas? Menurutnya banyak kejutan-kejutan dalam keramik yang bisa dieksplorasi, sehingga memunculkan ketidakterdugaan artistik. "Praktik ketidakterdugaan itulah saya menemukan cara kebebasan berekspresi," ucapnya.
Dengan pameran itu, tiga sekawan ingin menyampaikan pesan tentang harmoni sebuah keragaman, persis seperti tema Jazz Gunung Bromo tahun ini. Kata Butet, tidak ada batasan teritori antara musik, seni rupa dan kesenian lainnya. Semua saling melengkapi dan berpadu.
"Penyakit akademik itu mengkotak-kotakkan dan itu menyesatkan. Yang paling penting dari pameran ini adalah praktik merayakan kreativitas," kata Butet.