Jatuh Bangun Meri untuk Biyantie hingga Beromzet Ratusan Juta

Meri Yuarif, wanita di balik suksesnya Biyantie
Sumber :
  • VIVA/Jujuk Erna

VIVA – Sepintas tak ada yang beda dari rumah nomor 35A, di Jalan Pengadegan Selatan VII, Jakarta Selatan dengan rumah di sekitarnya. Dari luar hanya terlihat tumpukan kulit yang dijemur di pagar hitam.

Namun di balik pagar dengan taman mungil nan indah di salah satu sudutnya, tampak beberapa orang tengah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Beberapa kulit pun tampak tersebar di lantai dan sejumlah tas kulit berkualitas menggantung dan tertata rapi di rak mungil.

Dari kreativitas dan ketekunan perempuan bernama Meri Yuarif, salah satu produk tas kulit terbaik Tanah Air ini dihasilkan. Tidak cuma digilai pencinta tas kulit lokal, namun karya wanita 35 tahun itu sudah hijrah hingga ke negeri seberang.

Saat VIVA mengunjungi bengkel tas kulit Biyantie, beberapa waktu lalu, ibu tiga anak itu tengah sibuk memberikan arahan kepada sejumlah stafnya. Dengan sangat telaten dan semangat, ia berulang kali menghampiri perajin yang tengah sibuk membuat pola dan memotong kulit sebelum diolah menjadi tas cantik.

Energinya luar biasa, peluh yang membasahi wajah ayunya tak menyiratkan kelelahan. Dia tetap tersenyum dan bergerak lincah. Tak heran jika usaha yang ditekuninya bisa berlari kencang, meski sempat jatuh berulang-ulang.  

Diibaratkan seorang bocah kecil yang baru belajar jalan, wajar jika Biyantie jatuh beberapa kali karena usianya memang masih balita, baru merayakan ulang tahunnya yang ketiga pada April 2018. Masih belia untuk ukuran sebuah usaha yang tengah berkembang, namun sudah sangat dikenal.

Terbukti dalam sebulan, Biyantie bisa mengantongi omzet ratusan juta rupiah. Tentu semua ini bukan hasil usaha semalam. Biyantie adalah paduan dari kesungguhan, jatuh-bangun, kerja keras, dan mimpi-mimpi dari Meri bersama sang suami, Setiawan Ananto.

Meri menuturkan, Biyantie lahir dari kebosanan untuk membunuh waktu luangnya sebagai ibu rumah tangga. Sebelum terjun ke tas kulit, wanita kelahiran Padang itu lebih dahulu menjajal usaha vinil atau kulit sintetis, dalam bentuk boks majalah, stoples dan lainnya pada November 2011 di Yogyakarta. Namun, jarak lebih dari 520 kilometer antara Ibu Kota dan Yogyakarta membuatnya sulit melakukan kontrol usaha yang baru dirintisnya.

"Padahal waktu itu ada orderan dari Korea 1.000 pieces. Kenapa bangkrut itu karena jarak jauh (Meri di Jakarta, produksi di Yogyakarta) dan tidak ada kontrol. Itu bangkrut sekitar Desember 2013, pegawai terakhirku 15 orang di Yogya," katanya.

Meski demikian, keberuntungan masih memihaknya. Pada Februari 2014, Biyantie yang saat itu telah terdaftar di Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Deskranasda) diminta Dinas Perindustrian untuk mengisi pameran di INACRAFT (The Jakarta International Handicraft Trade Fair) pada April tahun yang sama. Namun karena usahanya tengah terpuruk dan tidak memiliki stok barang, ia akhirnya menjual tas yang dipasok teman.

Tak disangka tasnya laris manis dan dari sana, Biyantie dikenal sebagai produsen tas, padahal waktu itu belum memproduksi tas secara mandiri. Meri baru memproduksinya Agustus 2014 dengan mengandeng seorang mitra. Sayangnya selama setahun itu, dia ditipu mitranya.  

"Pada masa itu aku dikerjain, aku ditipu, aku merasa pada saat itu penjualannya sudah lumayan, tapi kok aku disuruh transfer uang terus sampai minta gaji suami. Akhirnya bulan Februari berikutnya aku pikir ini cukup," kata Meri.

Meri pun memutuskan memulai usahanya sendiri. Hanya dengan sisa uang Rp10 juta, ia memulai usaha khusus tas kulit dengan nama Biyantie. Sebuah nama yang telah dipakai sejak awal merintis usahanya. Label yang terdengar cantik dengan arti yang menarik. Ternyata nama itu merupakan usulan dari teman yang luar biasa.

"Teman pernah usul namanya Biyantie, yakni penokohan kita terhadap perempuan Indonesia yang menjalani peran idealnya perempuan. Jadi ibu rumah tangga, berkarya, berdaya ekonomi dan berjiwa sosial. Jadi all in one ada di Biyantie dan dengan tagline I'm Yours, itu kan bikin meleleh. Ini rasanya aku banget," tutur wanita yang hobi menyanyi dan olahraga itu.

Nama tersebut kemudian juga tergambar dalam usaha Meri merintis usahanya. Meski berkali-kali jatuh dan terpuruk, hal itu tidak membuat Meri berhenti dan menyerah. Baginya sedih saat jatuh adalah suatu hal yang wajar. Namun yang terpenting ialah bangkit usai jatuh berkali-kali.

Di kesempatan yang sama, Aan, sapaan akrab sang suami mengatakan bahwa mengalami kebangkrutan dalam usaha adalah suatu proses yang harus dilalui setiap orang yang memutuskan terjun ke dunia bisnis. Baginya seorang tak akan pernah berhasil ketika ia belum pernah merasakan berada di titik paling rendah dalam hidupnya.

"Mental kalau masuk ke dunia wirausaha harus siap bangkrut dan jatuh, dan setelah bangkit pertama, bangkit kedua membuat kita yakin kalau itu sebuah proses usaha yang wajar. Setelah bangkrut, kita jadi tahu apa yang salah, dan pada akhirnya ada solusinya," ujar Aan.

Berbagi Peran dengan Suami

Meri pun mengakui bahwa semua usaha yang dirintisnya tak lepas dari dukungan dan komitmen sang suami. Bahkan menurut Meri, ayah dari tiga putranya itu adalah mastermind alias dalangnya Biyantie. Sementara dia bertindak sebagai eksekutor.

Uniknya, jika banyak orang beranggapan bahwa urusan rumah tangga dan bisnis harus dipisah, hal itu tak berlaku bagi pasangan wirausaha muda ini. Dalam membesarkan bisnisnya, mereka justru mencampurkan peran suami-istri sekaligus partner bisnis.

Hubungan ganda itu pun tak selalu berjalan mulus, kadang ada bumbu-bumbu pertengkaran. Namun pada akhirnya mereka bisa saling melengkapi dan tahu perannya masing-masing di Biyantie. Meri melakukan perannya di selling marketing, sedangkan Aan menangani branding, promosi dan manajemen.

Dan karena berada di dunia yang sama, kadang ide untuk mengembangkan usaha tersebut datang di tempat yang tak terduga, di atas tempat tidur atau di rest area misalnya. Jika sudah demikian, keduanya pun langsung berdiskusi dan mengeksekusinya.

"Kita itu saling memberikan tantangan, tapi yang paling besar memberikan kesempatan. Dulu waktu pertama kali ke Yogya, pertama kali itu fokusnya istri dan dalam prosesnya dia membuktikan bisa, akhirnya aku mulai bantu," kata Aan.

Untuk memenuhi komitmennya sejak awal, akhirnya Aan memutuskan berhenti kerja 1,5 tahun lalu untuk fokus membesarkan Biyantie. Dan demi mengapresiasi suaminya, Meri pun menciptakan label baru bernama The Meer, yang berarti lautan luas.

Beda produk dari dua label ini terletak pada material bahan, produksi dan harga. Biyantie dibuat dari kulit ekspor, seperti dari Turki, Australia, Italia, Selandia Baru, sedangkan The Meer dari kulit lokal kualitas premium. Dan jika Biyantie dibuat custom atau sesuai pesanan, The Meer diproduksi massal, sehingga harga produk Biyantie sudah pasti lebih mahal dibanding adiknya. Kalau tas Biyantie dibanderol mulai Rp1,5 juta-Rp5 jutaan, kisaran harga The Meer kurang dari Rp1 juta.  

Alhasil, kini omzet Biyantie mencapai Rp300 jutaan per 30 hari, dengan penjualan Biyantie sekitar 300 unit setiap bulan dan The Meer mencapai 300-750 unit tiap serinya. Namun omzet itu ditargetkan bakal bisa dicapai hanya dalam sepekan tak lama lagi, dengan bertambahnnya sumber daya manusia (SDM) dan mengantrenya sejumlah proyek baru dan event nasional hingga internasional, seperti kolaborasi bersama sejumlah desainer fesyen hingga tawaran pameran ke luar negeri, termasuk Tokyo dan Hong Kong.  

Dengan potensi pasar yang besar terutama di daerah luar Jawa hingga ketertarikan publik mancanegara, semangat dan kreativitas yang tak pernah padam, Meri dan Aan optimistis bisnis yang ditekuni masih akan terus tumbuh dan berkembang hingga mengglobal.