Dokter Koleksi Seribu Lebih Kain Nusantara Langka
- abc
Jatuh cinta pada selembar kain Bali yang dibelinya di salah satu toko di Sydney telah mengawali kegemaran Dr Jhon Yu mengoleksi berbagai kain tradisional antik asal Indonesia selama 3 dekade terakhir.
Ia memiliki hampir seribu koleksi kain dari berbagai kawasan di Indonesia.
Dr Jhon Yu 84 tahun dan rekannya almarhum Dr. George Bryce Soutter adalah kolektor pribadi tekstil Indonesia yang paling berarti di Australia.
Keduanya mengoleksi lebih dari seribu lembar koleksi kain nusantara yang langka dari berbagai Kawasan di Indonesia, seperti Bali, Lombok, Jawad an Sumatera.
Beberapa diantara koleksi kainnya bahkan tergolong sangat langka dan ditaksir berusia ratusan tahun.
Sebanyak 62 buah koleksi kain tradisional langka berusia ratusan tahun milik Dr Jhon Yu dan almarhum Dr. George Bryce Soutter sedang dipamerkan di Museum Tekstil Jakarta yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Australia berjudul ‘Encounters With Bali: A Collector’s Journey".
Dalam sambutannya ketika membuka pameran itu di Museum Jakarta pada Selasa (10/7/2018) kemarin, Dr Jhon Yu mengatakan dirinya sangat bangga beberapa koleksinya dipamerkan di Jakarta.
“Selain merasa bangga, pameran ini juga merupakan wujud dari persahabatan yang kuat antara Australia dan negara tetangga pertamanya Indonesia."
"Sebuah kesempatan untuk menunjukan bahwa orang Australia sangat kagum, bangga dan mencintai budaya tekstil Indonesia.” katanya.
ABC: Iffah Nur Arifah
Dr John Yu bercerita, kain tradisional Indonesia yang pertama dibelinya adalah kain dari Pulau Savu, di Nusa Tenggara Timur, berupa selendang berwarna biru yang belinya di sebuah toko di di Sydney pada tahun 1970-an.
Kain itu diakuinya sebagai koleksi yang paling istimewa di hatinya.
‘Saya membeli kain tradisional Indonesia 3 tahun sebelum saya pergi ke Bali untuk pertama kalinya. Dan sejak saat itu saya selalu kembali ke Bali untuk membeli kain, sepertinya saya sudah 34 kali mengunjungi Bali,” ungkapnya,
Pensiunan dokter anak dan mantan rektor Universitas New South Wales ini mengaku sangat menyukai tenun ikat terutama dari daerah Sumatera seperti kain tapis Lampung dan juga dan batik tulis Bali dan Jawa.
“Kain tradisional Indonesia terlihat sangat cantik, saya suka warna-warnanya yang terang dan berani, ketika kita memegangnya, saya tahu itu kain yang bagus karena sangat lembut.”
“Bagi saya pribadi, kain tradisional Indonesia itu puncak dari tekstil di Asia. Misalnya contoh di Bali ada tradisi kain yang juga sama dengan kain patola dari India, tapi saya mendapati lebih menyukai kain tenun ikat patola Bali. "
"Karena saya lebih suka seni kerajinan rakyat daripada tekstil dengan pembuatan yang rumit dan saya suka warna-warna alaminya."
Ingin sumbang koleksi
ABC: Iffah Nur Arifah
Dr Jhon Yu berharap pameran ini dapat mendorong masyarakat Indonesia untuk lebih bangga dan mencintai tradisi kain Nusantara.
“Saya ingin pameran ini menjadi contoh yang baik untuk menunjukan pada masyarakat Indonesia, kalau di luar Indonesia ada banyak orang seperti saya yang mencintai dan menghargai kain tradisional nusantara."
"Saat ini orang-orang banyak melihat ke negara lain di Asia seperti China dan India, mereka memang membuat barang-barang yang indah tapi karya seni kain Indonesia juga sangat Indah. Anda harus bangga dengannya.”
Dr Jhon Yu mengaku dia telah menyumbangkan lebih dari 300 koleksi kain tradisional Indonesianya ke Museum Sydney.
Dia juga bermaksud melakukan hal serupa kepada masyarakat Bali khususnya atau Indonesia pada umumnya, jika ada instansi yang bersedia merawat dengan baik koleksi kainnya,
“Kalau ada museum atau institusi yang punya pengelolaan yang baik dan yang paling penting dapat memastikan koleksi kain yang saya berikan tidak bisa dikeluarkan dari koleksi museum itu, kalau ada institusi seperti itu saya terbuka untuk memberikan sumbangan.”
Koleksi langka berusia 200 tahun
ABC: Iffah Nur Arifah
Dr. Siobhan Campbell, dosen program Kajian Indonesia di Universitas Sydney yang ditunjuk menjadi kurator pameran ini mengaku sangat sulit memilih koleksi kain milik Dr Jhon Yu dan almarhum Dr. George Bryce Soutter untuk dipamerkan karena jumlahnya sangat banyak yakni lebih dari seribu lembar kain.
Ia memilih 62 kain yang dianggap mewakili perbedaan corak dan tradisi kain dari seluruh wilayah di Indonesia.
“Koleksi tekstil tertua dalam pameran ini kemungkinan berasal dari awal abad ke-19, jadi umurnya sudah sekitar 200 tahun. Ini koleksi yang sangat langka dan mengingat sulitnya melestarikan seni tekstil sangat sulit mencari contoh koleksi yang lebih tua dari koleksi ini,” tutur Siobhan.
Wanita yang mendalami kajian kebudayaan Bali ini mengatakan Indonesia memiliki tradisi kain yang lebih beragam dalam hal fungsi dan kegunaannya maupun cara pemakaiannya dibandingkan dengan tradisi kain dari kawasan lain di Asia Tenggara.
“Kain yang kami tampilkan ada kain untuk digunakan sehari-hari, kain selendang, kain gendongan sampai kain untuk pelengkap upacara adat seperti kain penutup pura,” tambahnya.
ABC: Iffah Nur Arifah
Australia memiliki koleksi tekstil Indonesia terkaya di dunia.
National Art Gallery of Australia di Canberra saat ini menampung lebih dari 1200 koleksi kain tradisional Indonesia yang terbaik di dunia.
Duta Besar Australia untuk Indonesia yang baru, Gary Quinlan dalam sambutannya mengapresiasi pameran ini dan berharap event ini bisa semakin mengakrabkan masyarakat kedua negara.
Secara khusus Dubes Gary Quinlan menekankan kuatnya pertalian hubungan antara seni tekstil Indonesia dan masyarakat pribumi Australia.
“Tekstil Indonesia, terutama batik telah mempengaruhi seni lukis masyarakat Aborijin dan Torres Strait Island di Australia."
"Selama beberapa dekade terakhir banyak produsen lukisan Aborijin khususnya perempuan belajar dari seniman batik Indonesia."
"Terutama belajar bagaimana memproduksi warna yang cerah. Sehingga kini, hasil karya mereka memiliki warna yang lebih cerah, dibandingkan karya-karya mereka yang lalu.” kata Quinlan.
Pameran ‘Encounters With Bali ini: A Collector’s Journey" yang menampilkan koleksi kain tradisional langka dari berbagai daerah di Indonesia ini dapat dinikmati di Museum Tekstil Jakarta hingga 5 Agustus mendatang.