Unik, Umat Kristiani Rayakan Tradisi Monuntul Sambut Lebaran

Tradisi Monuntul di Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara
Sumber :
  • VIVA/Agustinus Hari

VIVA – Umat Muslim setiap daerah di Indonesia memiliki tradisi dan keunikan sendiri menjelang perayaan Idul Fitri. Seperti halnya di Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara, yang tetap memelihara tradisi Monuntul atau malam pasang lampu.  

Menariknya, tradisi ini bukan hanya dilakukan umat Muslim saja, namun non-Muslim, yakni umat Kristiani juga menggelar tradisi Monuntul. Satu di antaranya dilakukan umat Kristen di Kelurahan Tumobui. Di sini, mayoritas warganya beragama Kristen dan melaksanakan tradisi Monuntul menyambut Idul Fitri.

“Iya, di sini kami umat Kristen ikut merayakan tradisi Monuntul yang sudah turun-temurun dilakukan,” ujar Efendi, warga Kotamobagu, Rabu, 13 Juni 2018.

Sementara pemerhati budaya Mongondow, Chairun Mokoginta mengatakan, Monuntul berasal dari kata tuntul yang berarti alat penerangan. Tradisi ini biasa disebut malam pasang lampu yang dilakukan selama tiga malam berturut-turut dan akan berakhir saat malam takbiran. Jadi Monuntul diartikan memberi penerangan.

Monuntul dilaksanakan untuk menyambut perayaan Idul Fitri dan kemenangan atas umat Muslim yang telah berpuasa selama satu bulan. Dia menyebut, tradisi ini bisa dilihat dari dua perspektif kebudayaan dan agama.

Dari sisi agama, tradisi ini tidak ada. Hanya saja, kegiatan tersebut dikaitkan dengan malam Lailatul Qadar yang dijanjikan pada satu malam di 10 hari terkahir Ramadan.

Chairun mengatakan, tradisi ini masih terus dipertahankan hingga kini sejak penyebaran agama Islam di Bolaang Mongondow. Warga Mongondow, menurutnya, percaya bahwa cahaya merupakan sumber kehidupan, sehingga memasang lampu sama dengan memberikan cahaya penerang dalam kehidupan.

Dahulunya lampu yang dipakai dalam tradisi Monuntul terbuat dari bambu kecil dengan bahan bakar dari minyak kelapa atau terbuat dari damar. Seiring waktu, masyarakat pun membuatnya dari botol kecil dengan bahan bakar minyak tanah.

“Perubahan itu hal wajar. Yang penting tidak mengubah makna dari tradisi Monuntul tersebut," kata Chairun.

Di sisi lain, tradisi tersebut memberi dampak positif pada ekonomi warga sekitar. Nadya Kairupan, warga Kelurahan Kotamobagu, yang membuat dan menjual lampu botol untuk Monuntul bersama beberapa keluarganya menjajakkan lampu-lampu tersebut di Jalan Datoe Binangkang dengan harga Rp3.000.

“Kalau mendekati pemasangan lampu, bisa mendapatkan Rp200 ribu per hari. Bulan ini, kami membuat 1.000 lampu," kata dia yang berjualan bersama dua saudaranya, Rini Dimpudus dan Joshua Gani.