Darurat Sampah di Laut Indonesia

Pantai Kuta dipenuhi sampah yang dibawa oleh arus, Desember 2017.
Sumber :
  • bbc

VIVA- Setelah wisatawan Inggris mengambil video menyelam di perairan Nusa Penida, Bali yang penuh sampah, Kementerian Pariwisata membalas dengan video bersihnya laut. Kenapa tak ada tindakan untuk mengatasi masalah sampah? Seberapa gawatkah masalah sampah di laut Indonesia? Tulisan ini akan menjelaskannya.

Beberapa waktu terakhir ini warganet kembali diingatkan pada masalah sampah plastik melalui video wisatawan Inggris yang menyelam di antara lautan sampah di Nusa Penida, Bali. Aneka sampah plastik mengapung di sekitar penyelam.

Ditambah lagi, tumpukan sampah yang terhampar di sepanjang pantai di Bali beberapa bulan terakhir membuat persoalan plastik yang selama ini terpinggirkan, kembali menyita perhatian publik.

Kementerian Pariwisata membantah video tersebut melalui akun Twitter resminya.

"Siapa bilang laut Nusa Penida banyak sampah? Dikepung sampah plastik seperti yang diviralkan diver Inggris Rich Horner? Lautnya ternyata clear. Biota lautnya juga hidup sangat sehat,” kata akun @Kemenpar_RI pada 10 Maret 2018.

Kementerian tersebut berusaha memberikan bukti dengan video laut yang bersih dan diberi tagar #IniLhoAslinyaNusaPenida #WonderfulNusaPenida.

Pada 10 Maret 2018 ada sekitar 3.800 tagar #IniLhoAslinyaNusaPenida diikuti 2.882 tagar terkait, #WonderfulNusaPenida. Kedua tagar tersebut hanya muncul hingga 11 Maret dan pada 12 Maret. Sudah hampir tidak ada lagi tweet baru dengan tagar tersebut.

Reaksi Kementerian ini disayangkan warganet, karena tidak memberikan solusi terhadap masalah sampah. Sebenarnya, benarkah soal sampah di laut ini adalah sebuah masalah yang besar? Untuk melihat seberapa gawatnya kondisi sampah di laut, berikut ini fakta yang bisa disimak.

Sampah plastik membunuh para penghuni laut, dari ikan, penyu, bahkan burung yang tinggal di sekitar pantai. Makhluk laut terbelit aneka sampah plastik. Dalam film dokumenter BBC, Blue Planet 2, penonton bisa melihat bagaimana seekor kura-kura penyu sisik terjerat kantong plastik.

Selain dalam bentuk kasat mata, material plastik yang sangat kuat membuatnya sulit terurai meskipun sudah hancur menjadi partikel kecil. Partikel-partikel plastik tersebut masuk ke dalam tubuh ikan dan para penghuni laut lainnya. Menurut temuan Ocean Conservancy, 28 persen ikan-ikan di Indonesia mengandung plastik.

Sebelumnya, seorang fotografer bernama Justin Hoffman memotret kuda laut di perairan Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Foto kuda laut mini ini menjadi viral karena ada sampah tersangkut di ekornya.

"Foto ini menjadi perlambang untuk masa kini dan masa depan laut kita. Masa depan seperti apa yang sedang kita ciptakan? Bagaimana perbuatan kita menentukan masa depan planet kita?" kata Justin melalui akun Instagramnya.

Warga miskin di bantaran sungai sering disalahkan atas tumpukan sampah yang dibuang ke sungai. Padahal Riset Bank Dunia menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang, semakin banyak sampah yang dihasilkannya.

Sampah yang diproduksi orang-orang di kelompok pendapatan lebih rendah biasanya lebih sedikit, sebab mereka jarang belanja. Produk yang dibeli juga buka produk premium yang membutuhkan banyak bungkus. Mereka juga cenderung akan lebih hemat menggunakan ulang barang-barang yang dimiliki dan jarang memakai barang sekali pakai.

Menurut riset Bank Dunia, rata-rata sampah per kapita di negara dengan pendapatan tinggi adalah 2,1 kilo per hari. Batas atasnya mencapai 14 kilogram per hari. Adapun di negara dengan pendapatan rendah, rata-rata sampah yang dihasilkan 0,6 kilogram per hari dengan batas atas 4,4 kg. Sampah yang dihasilkan oleh warga Amerika, misalnya, adalah 700 kg sampah per orang per tahun. Di negara berkembang, jumlah ini bisa mencapai hanya 150 kilogram per tahun.

Tahukah Anda perjalanan sampah yang Anda buang ke tempat sampah? Laporan BBC akhir tahun lalu menemukan limbah rumah sakit yang berbahaya, dibuang begitu saja di pinggir jalan di Cirebon. Rupanya, rumah sakit telah menyerahkan pembuangan sampah medis ke pihak ketiga, tapi tidak mengetahui ke mana pihak ketiga tersebut membuang sampahnya.

Jakarta membuang sampahnya ke Tempat Pembuangan Akhir Bantar Gebang. 10 tahun mendatang, Bantar Gebang diperkirakan akan menjadi terlalu penuh dan tidak bisa lagi menampung tumpukan sampah baru. Selain itu, setiap harinya, sampah seluas tujuh lapangan sepak bola dibuang ke Sungai Ciliwung. Tentunya sampah sebanyak itu tidak hanya dihasilkan oleh mereka yang tinggal di pinggir kali Ciliwung. Sampah itu kemudian akan berujung ke laut. Ini baru dari Ciliwung saja.

Indonesia, China dan India dituding telah menjadi negara sumber sampah plastik terbesar di dunia.

"Kita malu, Berita di media bahwa Indonesia penyumbang sampah terbesar ke laut nomor dua setelah China, malu kita," kata R. Sudirman, Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Akibat sampah ini pula, Indonesia terancam digugat. Sebuah laporan yang ditulis pegiat lingkungan Inggris menyebutkan bahwa Indonesia bisa dituntut di Mahkamah Kriminal Internasional sebagai salah satu negara yang paling banyak menyumbang sampah plastik. Pemerintah Indonesia berjanji untuk mengurangi sampah plastik di laut sampai 70 persen di 2025. Tidak ada lagi sampah yang dibuang ke alam, apalagi laut. Tapi apakah itu mungkin?

Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan menekankan perlunya kerja sama internasional untuk menangani sampah plastik di laut dan meminta agar tidak saling menyalahkan satu sama lain.

"Terkadang orang melihat Indonesia sebagai korban (sampah plastik di laut) karena posisi yang strategis," kata Luhut di Konferensi Kelautan Dunia PBB di New York.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti selalu mengulang-ulang pesan untuk seluruh masyarakat agar tidak membuang sampah ke laut, "Kita harus menjadikan laut sebagai beranda depan rumah, bukan di belakang."

Membuang sampah pada tempatnya saja tidak cukup untuk mengatasi masalah sampah. Tapi jangan pesimis. Selain menunggu janji pemerintah dipenuhi, berikut ini beberapa contoh inisiatif yang datang dari warga yang peduli dengan permasalahan sampah.

Gerakan Kota Tanpa Sampah mengajak warga untuk sedikit demi sedikit mengurangi produksi sampahnya. Sampah tidak lagi dilihat sebagai persoalan bersih dan kotornya lingkungan, tapi juga cerminan sistem produksi dan konsumsi.

Warga diajak peduli memikirkan persoalan-persoalan sampah. Misalnya, kampung bersih karena sampah diangkut oleh tukang sampah, tapi ke mana sampah itu diangkut? Sebelum mengonsumsi sesuatu, warga diajak berpikir mengenai akibatnya, yaitu sampah yang akan dihasilkan dari konsumsi tersebut.

Warga diajak melakukan eksperimen untuk mengurangi sampah di rumahnya masing-masing. Salah satu eksperimen di Kampung Kerapu, Tongkol dan Lodan berhasil mengajak warga mengurangi sampah rumah tangga antara 42 hingga 88 persen.

Barang-barang elektronik mengandung bahan kimia yang berbahaya jika langsung dibuang begitu saja. Muncul beberapa inisiatif untuk memilah sampah elektronik, menjadi bagian-bagian lebih kecil yang bisa dibuang berdasarkan jenisnya. Beberapa bagian yang masih berguna, bisa didaur ulang untuk membuat alat baru.

Warga mulai mendaur ulang sendiri sampah rumah tangganya menjadi kompos, seperti yang dilakukan warga Jakarta bernama Ibnu Najib. Ada pula "Akademi Kompos", wadah khusus bagi mereka yang ingin belajar membuat kompos dengan komposter di rumah masing-masing.

Resa Boenard mendirikan Komunitas BGBJ yang mengajarkan tata kelola sampah pada warga dan anak-anak di Bantar Gebang. Ia terus memberi pemahaman berulang kali kepada anak-anak Bantar Gebang tentang pentingnya melakukan pemisahan sampah, termasuk mendaur ulang sampah agar bisa menjadi kreasi baru.

Tak cuma daur ulang, mereka melakukan upcycle, yaitu mengubah sampah menjadi kreasi baru yang bisa dimanfaatkan, atau bahkan punya nilai ekonomi.

Bagaimana dengan Anda? Kalau mereka bisa melakukan sesuatu, kita semua pasti bisa.