Tanpa Generasi Penerus, Kain Tenun Palembang Terancam Punah

Kain tenun Palembang
Sumber :
  • VIVA.co.id/Aji YK Putra

VIVA.co.id – Selain banyaknya wisata bersejarah, kota Palembang, Sumatera Selatan, juga memiliki kain tenun khas yang dibuat secara tradisional. Sayangnya, kain tenun tersebut mulai sulit didapat lantaran kurangnya perajin tenun khas Palembang.

Tak ada regenerasi perajin tenun di Palembang, sehingga para perajin tenun yang ada sudah berusia lanjut. Kendati mulai jarang keberadaannya, namun produksi kain tenun Palembang masih dapat ditemukan di kawasan tenun Tuan Kentang di Jalan Aiptu A Wahab, Kelurahan Tuan Kentang, Kecamatan Seberang Ulu 1, Palembang.

Salah satu perajin adalah Hawa, nenek berusia 64 tahun ini masih bergelut dengan benang untuk membuat kain tenun khas Palembang. Pekerjaan sebagai perajin tenun telah dilakukan nenek tiga cucu tersebut sejak usia 17 tahun. Saat itu, penjualan kain tenun di Palembang masih bagus, sehingga keuntungan yang didapat cukup memenuhi kebutuhan keluarga.

Namun, usaha kain tenun semakin hari kian merosot, apalagi ketika Hawa menikah. Seluruh peralatan tenun yang dimiliki terpaksa dijual. Akibatnya, Hawa kini hanya menjadi buruh tenun di produksi rumahan.

"Dulu dapat keterampilan menenun dari keluarga. Sempat buka usaha ini (tenun Palembang), tetapi modalnya anjlok karena penjualan menurun. Jadi, saya sekarang cuma buruh," kata Hawa, Kamis 14 September 2017.

Sementara itu, upah yang didapatkan Hawa Rp100 ribu untuk satu lembar kain jadi. Satu lembar kain, dia kerjakan selama satu pekan.

"Masih muda dulu bisa satu hari saja, untuk satu lembar. Sekarang tidak bisa lagi, mudah capek karena duduk seharian," katanya, Kamis 14 September 2017.

Setelah jadi, kain tenun yang dibuat Hawa dijual dengan harga mulai Rp300 ribu hingga Rp1 juta. Ada beberapa jenis tenun khas Palembang, yakni kain tajung dan blongsong. Kain ini biasanya digunakan pada acara adat atau pun kegiatan formal.

Soal kendala yang dihadapi dalam mengembangkan kain tenun Palembang, selain jumlah pembeli yang kurang, juga karena minimnya jumlah perajin tenun. Menurutnya, tak ada generasi muda yang mau mempelajari cara membuat kain tenun Palembang.

"Anak-anak sekarang tidak mau, beda sama dulu. Sekarang semua yang menjadi buruh tenun kain Palembang sudah tua-tua semua," ujar Hawa.

Senada dengannya, Hasna yang kini berusia 55 tahun juga harus menenun meskipun telah berusia lebih dari setengah abad. Sebab, sudah tidak ada generasi penerus lain.

"Kalau tidak ada lagi perajin seperti kami ini, kemungkinan kain khas Palembang sudah tidak bisa ditemukan. Jadi, kami harus tetap pertahankan, biar kain Palembang tetap ada" ujar Hasna. (asp)