Nasib Buruh Pabrik Pembuat Baju Ivanka Trump di Indonesia
- REUTERS/Lucy Nicholson
VIVA.co.id – Meski Ivanka Trump telah mengundurkan diri dari sejumlah perusahaan yang dipimpinnya, termasuk perusahaan fesyen, usai diangkat menjadi penasihat ayahnya, yang juga Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, namun dia masih membuat kontroversi. Hal itu, lantaran pelanggaran hak buruh di sejumlah pabrik tempat produk fesyennya dibuat.
Setelah dugaan pelanggaran hak buruh yang dilakukan pabrik pembuat fesyen dengan label Ivanka Trump di China terbongkar, kini masalah serupa juga terjadi di pabrik pembuat produk fesyen Ivanka di Subang, Jawa Barat, Indonesia.
Para buruh mengaku dibayar rendah, sehingga mereka tidak sejahtera, intimidasi antiserikat pekerja dan tawaran bonus untuk tidak libur saat haid. Dikutip dari The Guardian, Rabu 14 Juni 2017, upah yang diterima para buruh, merupakan salah satu yang paling rendah di Asia. Bahkan, dengan upah rendah, para buruh masih dipaksa memenuhi target produksi yang sangat tinggi.
Upah yang diberikan oleh pabrik di Subang, lebih rendah dibanding di China. Alia (bukan nama sebenarnya), seorang ibu dua anak telah bekerja di pabrik yang membuat baju dengan label Ivanka Trump, PT Buma Apparel Industry di Subang, Jawa Barat, sejak lulus Sekolah Menengah Atas (SMA).
Dia mengaku meski sudah bekerja keras di pabrik itu bersama dengan suaminya, namun hingga saat ini mereka tidak bisa melunasi utang-utangnya. Bahkan, mereka masih harus menyewa kamar dengan biaya sekitar Rp400 ribu per bulan. Sementara itu, upah minumum provinsi (UMP) yang diperolehnya sebesar Rp2,3 juta tiap bulan. Selain salah satu upah terendah di Indonesia, juga sekitar 40 persen di bawah upah terendah di pabrik China.
Sementara itu, PT Buma adalah perusahaan garmen milik Korea, yang mulai beroperasi di Indonesia pada 1999. Buma adalah salah satu pemasok G-III Apparel Group, produsen grosir untuk merek fesyen ternama, termasuk pakaian Trump. Banyak pekerja Buma, tahu siapa Ivanka Trump. Kendati demikian, sebagian dari mereka mengaku tidak menyukai kebijakan ayahnya.
Data Dinas Tenaga Kerja Subang mencatat, jumlah pekerja di Buma sebanyak 2.759 orang, dengan angkatan kerja berorganisasi hanya sekitar 200 pekerja. Pekerja di Buma, sekitar tiga per empatnya adalah wanita.
Salah satu pekerja lain yang masih single, Sita yang juga bukan nama sebenarnya, mengatakan mulai bekerja di Buma pada tahun lalu. Namun, kontraknya akan segera diputus, setelah tujuh bulan bekerja. "Itu salah satu cara perusahaan untuk mengatasi biaya tambahan," katanya.
Sebagai pekerja kontrak, dia tidak akan mendapatkan pesangon. Padahal, dia mengaku, selama bekerja lembur di pabrik tersebut, dia tetap dibayar sesuai UMP, yakni Rp2,3 juta, dan tidak mendapat uang lembur.
Sementara seorang ibu tunggal berusia 30-an tahun dengan dua anak yang telah bekerja selama tujuh tahun di Buma, mengaku masih betah bekerja di sana. Itu karena, menurutnya, pekerjaan yang dilakukan tidak begitu sulit.
Wanita yang sudah menjadi pekerja tetap di pabrik Buma, akan mendapatkan konsesi tertentu, seperti cuti hamil selama tiga bulan dan upah dibayar, asuransi kesehatan, dan bonus bulanan sekitar Rp140 ribu jika tidak mengambil cuti haid.
Soal target produksi buruh dari jam 07.00 hingga 16.00 dipatok antara 58-92 pakaian per periode. Tapi kenyataannya, hanya sanggup memproduksi 27-40 pakaian, sehingga mereka terpaksa lembur. Bahkan, sebagian pekerja melakukan lembur sukarela lantaran tidak memenuhi target. "Manajemen semakin pintar, mereka menghapus kartu identitas kami jam 16.00 sehingga kami tidak dapat membuktikan apapun," kata seorang pekerja pria berusia 25 tahun.
Tujuh pekerja lainnya juga mengatakan bahwa mereka mengalami pelecehan verbal, seperti penyebutan binatang dan bodoh. Selain itu, pabrik juga memberhentikan pekerja sebelum bulan Ramadan dan mempekerjakan mereka kembali sebulan kemudian, untuk menghindari pemberian Tunjangan Hari Raya (THR).
Menurut Toto Sunarto, Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) di Subang, pada Mei 2017, ada sekitar 290 orang yang dipecat sebelum bulan Ramadan. Organisasi Buruh Internasional menyebut, Indonesia memiliki kesenjangan terbesar antara upah tinggi dan rendah di antara negara-negara Asia, untuk pekerja garmen tidak terampil. Tidak satu pun pekerja mengaku pernah menerima kenaikan berdasarkan kinerja, meskipun beberapa dari mereka telah bekerja di pabrik selama tujuh tahun.
The Guardian mencoba mengonfirmasi hal itu ke PT Buma, namun juru bicara di Buma Subang maupun Jakarta enggan berkomentar. Hal yang sama juga terjadi ketika The Guardian meminta komentar dari Gedung Putih. Sementara itu, penjualan bersih fesyen Ivanka Trump meningkat hampir Rp240 miliar selama tahun lalu, yang berakhir 31 Januari 2017. (asp)