Asyiknya Berburu Baju Korea-Jepang di Semarang
- iStock
VIVA.co.id - Suasana sore di Kota Lumpia, Semarang, Jawa Tengah tampak mendung. Namun, aktivitas perdagangan di sebuah lapak kecil pakaian impor bekas di salah satu jalan di Semarang cukup ramai.
Lalu lalang kendaraan juga cukup padat. Tak hanya sepeda motor, seorang ibu pemilik mobil mewah pun turun dan memarkirkan mobilnya di tepi jalan. Ia tampak langsung bergabung bersama dengan pembeli lain serta memilah ratusan pakaian di lapak tersebut.
Kebanyakan orang menyebut lapak itu sebagai lapak "Korea-Jepang" tepatnya terletak di Jalan Abdurahman Saleh, Semarang Barat.
Saban hari, di ruko kecil berukuran antara 8x6 itu selalu diserbu pembeli. Mayoritas di antaranya kalangan ibu-ibu, mahasiswi dan siswi SMA.
Seperti berburu tikus dalam karung. Ungkapan yang sering dipakai para pembeli di lapak tersebut. Jika beruntung, mereka akan mendapatkan jenis pakaian yang bagus dan bermerek dengan harga yang sangat miring.
Tidak perlu pergi ke mal kelas elite tentunya. Mereka hanya perlu kesabaran ekstra memilah satu per satu merek pakaian luar negeri yang terpampang di sepanjang lapak kecil tersebut.
Asyiknya berburu pakaian bekas impor memang menjadi hal yang unik. Di saat harga sejumlah kebutuhan pokok terus merangkak naik, kalangan perempuan harus lebih jeli memutar keuangan mereka untuk kebutuhan hidupnya.
Khususnya, untuk membeli kebutuhan pakaian. Apalagi, mereka kalangan mahasiswa dan pelajar SMA yang secara ekonomi masih tergantung orangtua.
"Di sini koleksinya bagus dan murah. Harganya antara Rp10-300 ribu. Kadang kalau yang kami ingin belum ada, nunggu seminggu pasti barangnya datang," ujar Emy, warga Manyaran Semarang saat berbincang dengan VIVA co.id, Jumat 6 Februari 2015.
Bahaya pakaian impor
Meski pemberitaan bahaya menggunakan pakaian impor bekas diinformasikan secara terus-menerus di media televisi, surat kabar cetak dan online, mereka bahkan tidak peduli. Bagi mereka, berburu pakaian elite luar negeri dengan kualitas bagus dan murah sudah menjadi hobi tersendiri.
"Sudah sering dengar sih (bakteri pakaian bekas), tapi selama ini tidak ada buktinya. Ya, isu saja mungkin. Masak sih pakaian bagus-bagus gini dibilang sampah," ujar Emy, ibu satu anak itu.
Senada dengan Emy, Evi (25), mahasiswi perguruan tinggi swasta di Semarang juga mengakui asyiknya berburu pakaian bekas bermerek adalah peruntungan yang bisa dinikmati kaum perempuan. Tak dipungkiri, pakaian memang identik dengan perempuan.
"Jika pintar memilah, kita bisa dapat yang baru dan ori lho. Apalagi harganya sesuai dengan kantong kita para mahasiswa, " ujarnya.
Dia dan teman-teman lainnya bahkan tak terlalu khawatir akan imbauan pemerintah perihal bakteri yang melekat pada pakaian impor bekas. Sebab, ia memiliki cara tersendiri untuk menyiasati masalah itu.
"Logikanya, orang beli pakaian bekas pasti dicuci bersih. Bakterinya kan hilang. Begitu aja kok repot," ujar mahasiswi semester akhir itu.
David, pemilik lapak pakaian "Korea-Jepang" Semarang mengakui, dia memiliki pelanggan tetap mayoritas perempuan di lapak miliknya. Menurut dia, keasyikan mereka membeli pakaian impor bekas dilihat dari berbagai hal.
Mulai dari kualitas bahan, model yang baru-baru, harga jauh miring, tingkat keawetan dan merek berkualitas.
"Para pembeli di sini kalangan orang cerdas dan berpengetahuan luas. Mulai orang kaya, mahasiswa dan pelajar. Mereka sangat terbantu dengan adanya lapak di sini. Masyarakat dari semua kalangan bisa beli," ujar bapak dua anak itu. (art)
Baca juga: