Desainer Merdi Sihombing dan Misi Fesyen Ramah Lingkungan

Salah satu karya fesyen ramah lingkungan dari desainer Merdi Sihombing.
Sumber :
  • Istimewa

VIVA – Tahun 2017 lalu terungkap data yang mengejutkan dunia, yakni polusi yang dihasilkan dari industri fesyen ternyata sama dengan polusi yang dihasilkan oleh batubara, migas bahkan petrokimia. Ellen MacArthur Foundation menyatakan bahwa setiap detiknya terdapat satu truk limbah tekstil yang dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) atau dibakar

Kerugian dari pakaian yang jarang dipakai atau tak pernah didaur ulang di seluruh dunia setiap tahunnya diperkirakan mencapai US$500 miliar. Pada tahun 2050, industri fesyen bahkan diperkirakan akan menggunakan 25 persen dari stok karbon dunia apabila tidak ada seorang pun yang melakukan aksi perubahan.

Data tersebut juga memaparkan tentang fakta pahit bahwa industri fesyen telah melakukan pencemaran yang masif, yakni membuang satu juta ton mikrofiber per tahun ke laut, yang setara dengan 50 triliun botol plastik. Fakta di lapangan menunjukkan mikrofiber hampir mustahil untuk dibersihkan dan suatu saat akan masuk ke dalam rantai makanan yang dikonsumsi manusia.

Fakta-fakta tersebut akhirnya melahirkan fesyen yang ramah lingkungan (eco-fashion) dan fesyen terbarukan (sustainable fashion). Dalam beberapa tahun belakangan, keduanya menjadi perhatian dunia, termasuk Indonesia.

Midian Sefnat Sihombing Hutasoit atau yang lebih dikenal sebagai Merdi Sihombing adalah salah satu desainer Tanah Air yang menyikapi isu ini dengan serius. Desainer yang identik dengan karya-karyanya yang berasal dari kain tenun Nusantara ini telah banyak melakukan berbagai aksi nyata untuk melakukan re-thinking fashion, gerakan yang sejak 2018 lalu marak dilakukan pegiat fesyen dunia.

Sepanjang 2018, Merdi melakukan community development di Alor, Rote Ndao, Banyuwangi dan Lombok untuk mengajarkan berbagai teknik yang menerapkan konsep sustainable fashion, seperti penggunaan pewarna alam, benang organik, maupun pengelolaan limbah tekstil.

Merdi juga menggagas Eco-Fashion Week Indonesia 2018 yang digelar di Gedung STOVIA, Jakarta, dan menjadi pembicara di berbagai event yang mengusung prinsip sustainable lifestyle.

Mengawali 2019, tepatnya di pertengahan Februari Merdi diundang untuk membawakan karya sustainable fashion-nya di London, Inggris yang diprakarsai oleh Independent London Fashion Week Designer's Association (ILFWDA).

Sebanyak 15 koleksi Autumn/Winter 2019 terbarunya dipamerkan bersama karya-karya Jeff Garner dan tujuh desainer sustainable fashion independen dari berbagai negara. Jeff Garner sendiri adalah desainer dari Amerika Serikat yang pernah menyabet penghargaan Eluxe Award 2018.

"Keikutsertaan saya di ILFWDA ini direkomendasikan oleh Jeff Garner yang karya-karya sustainable fashion-nya sudah dikenal dunia melalui brand Prophetik. Koleksi saya kali ini juga mendapatkan dukungan dari Lenzing Indonesia, PT South Pacific Viscose, produsen benang ramah lingkungan, yakni Lyocell A 100 yang kemudian diberi pewarna alam, sebelum ditenun menjadi kain-kain indah oleh perempuan-perempuan penenun di berbagai pelosok terpencil di Indonesia,” kata Merdi dikutip dari rilis yang diterima VIVA, 13 Maret 2019.

Tema 'Sirat' diangkat sebagai sajian utamanya. Sirat adalah produk anyaman benang yang dikerjakan dengan teknik table weaving. Helai demi helai sirat yang berbentuk seperti pita itu dijahit menjadi satu, hingga membentuk gaun panjang, jumpsuit maupun longcoat yang diberi aksentuasi manik metal spike.

“Sirat biasanya digunakan sebagai hiasan kepala saat ritual adat. Bentuknya menyerupai pita sepanjang 1 meter dengan lebar 5-7 sentimeter. Sirat biasanya terdiri atas tiga warna yang melambangkan dunia dengan komposisi warna putih di atas, merah di tengah dan hitam di bawah. Motif ini disebut dengan istilah Sacred Geometry,” ujar Merdi.

Merdi juga menyuguhkan koleksi klasik tenun ikat Hitam Putih, dan sejumlah koleksi dari kain yang diproduksi di Umapura Alor, sebuah atol kecil di Pulau Ternate. Ia mengatakan bahwa tahun 2018 lalu ia melakukan community development di pulau terluar di Indonesia bagian utara tersebut.

"Hutan-hutan di sana masih dijaga ketat oleh masyarakat, karena dari hutan itulah mereka mendapatkan perwarna alam. Tanaman kolam susu menghasilkan warna hijau, indigo untuk warna biru, atau akar mengkudu untuk warna merah. Saya juga menggunakan limbah-limbah rebusan cumi-cumi dan teripang sebagai alternatif perwarna alam dalam koleksi ini," ucapnya.

Merdi pun mengajak berbagai pihak untuk terus mendorong sustainable fashion. Menurutnya, kita harus lebih proaktif, karena pada dasarnya nenek moyang kita sudah mewariskan teknik-teknik pembuatan kain yang sangat ramah lingkungan.

"Sudah saatnya bagi siapa pun dari lintas generasi untuk merumuskan dan menerapkan sistem kerja yang cerdas dan tepat untuk membenahi sistem fesyen. Istilahnya fixing fashion system untuk meluruskan praktik-praktik yang salah dalam dunia fesyen. Saya optimis kita akan mampu melakukannya bersama-sama," tutupnya.

Sebagai informasi, Merdi juga dikenal sebagai desainer yang memopulerkan Ulos, termasuk mengolah motif baru dan menggunakan pewarna alam dalam karya-karyanya. Selama 15 tahun berkarya, ia telah aktif melakukan community development di berbagai tempat di Indonesia dalam mengembangkan tekstil Nusantara.

Merdi pernah mencatat rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) atas penemuan teknik tenun dengan pewarna alam. Proyek pengembangan ulosnya bekerja sama dengan Austria juga membuat karyanya menjadi satu-satunya karya anak bangsa yang dipamerkan di Museum Swarovskl Austria.(nsa)