Gending Malangan Jadi Mata Kuliah di Solo

Padepokan Sumantri.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Dyah Ayu Pitaloka.

VIVA.co.id - Tak banyak yang tahu, Malang punya komposisi gending (lagu) yang khas dan berbeda dengan komposisi gending Solo atau Yogyakarta. Institut Seni Indonesia (ISI) menjadikan gending Malangan sebagai bahan perkuliahan di Jurusan Pedalangan dan Karawitan.

Sejumlah pengajar dari ISI Solo pun datang ke Malang untuk menggali informasi lebih banyak tentang gending Malangan.

Seperti belum lama ini, seorang pemain kendang Jekdong, Sumantri, mengumpulkan sejumlah seniman pemain gamelan dengan gending khas Malang, di padepokannya Jalan Pelabuhan Bakahuni, Kota Malang. Mereka kembali memainkan gending Malangan secara bersama.

Sejumlah pengajar dari Universitas Negeri Malang dan ISI sengaja datang untuk melihat langsung pertunjukan yang kini menjadi momen langka itu.

Mereka duduk bersimpuh di atas tikar sambil memainkan sejumlah alat musik gamelan. Pemain sebagian besar berusia lanjut, hanya segelintir anak muda yang ikut berbaur.

Mereka bermain di sebuah sanggar kesenian sederhana di pinggiran Kota Malang. Sebuah bangunan sederhana berdinding anyaman bambu menjadi sanggar mereka untuk berkreasi.

"Seni pertunjukan semakin langka, media belajar gending Malang sulit ditemukan," kata Sumantri usai memainkan sejumlah gending bersama seniman lain.

Untuk melestarikan gending Malangan, Sumantri sempat membuat lagu berjudul "Tribina Cita" dengan iringan menggunakan gending Malangan. Lagu tersebut telah direkam pada 2005, namun tak pernah diputar di Balai Kota Malang maupun kawasan publik seperti terminal dan stasiun.

Popularitas gending Malangan juga turun di antara seniman sendiri. Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Malang, Gimun, mengakui, saat ini dalang jarang mementaskan wayang dengan iringan gamelan Malang. Karena, permintaan masyarakat bergeser dan memilih gending Solo yang lebih populer.

"Gending Malang jarang dipentaskan, pertunjukan wayang lebih banyak dipentaskan dengan rasa Jawa Tengah," ujarnya.

Gending Malangan

Pembeda gending Malangan dengan gending Solo atau Yogyakarta terletak pada komposisi dan pola kendangan. Sementara itu, perangkat gamelan yang digunakan sama dengan gamelan Solo dan Yogyakarta.

Hanya bentuk kendang perangkat gamelan Malang memiliki ukuran lebih besar untuk menghasilkan suara yang lebih berat.

"Gending Malang terkesan kasar, khas karakter Malang yang lugas," kata dosen Program Studi Tari dan Musik Fakultas Sastra Unversitas Negeri Malang, Robby Hidayat di tempat yang sama.

Menurut dia, selama ini terjadi pergeseran makna dan selera pada penikmat musik gending di Malang. Gending Malang digolongkan sebagai kesenian kelas dua, sedangkan gending Solo dan Yogyakarta menjadi rujukan utama.

Dampaknya, gending Malang terpinggirkan, gending Keraton Solo dan Yogyakarta dianggap lebih tinggi. "Kami harus bangga gending Malang diajarkan di kampus. Meskipun saat ini para pengrawit lebih memilih gending Solo dibanding Malang," katanya.

Gending Malang dahulu banyak dimainkan untuk mengiringi seni tari topeng, tayup, ludruk, wayang topeng, dan wayang kulit. Namun, gending Malang berangsur surut mulai 1970-an. Kini hanya tari topeng, dan wayang topeng yang setia menggunakan iringan gending Malangan.

Sementara itu, wayang dengan gending Malang dikenal dengan wayang jekdong. Disebut jekdong karena iringan saat pembuka berbarengan menggunakan kepyang, kendang, dan gong.

Saat ketiga alat musik ditabuh bersamaan menimbulkan bunyi "jek dong." Wayang jekdong jarang dipentaskan, satu-satunya dokumentasi yakni dokumentasi rekaman dalang asal Sengguruh Kepanjen, Ki Matadi.

"Sekarang Ki Matadi sudah meninggal," Robby.

Sementara itu, para pelaku seni belajar melalui panggung pertunjukan. Mereka tak belajar secara formal, sehingga sejak tak ada pementasan, proses pembelajaran gending Malangan mengalami kesulitan. Para dosen ISI pun pergi ke Malang untuk menggali gending Malangan dengan melihat pertunjukan dari seniman yang tersisa di Padepokan Sumantri.

Kesan wayang dengan gending Malang sangat berkesan di antara penggemar wayang. Seorang warga Malang yang juga penggemar wayang mengaku sering mendengarkan dalang Ki Matadi saat beraksi.

"Pernah melihat rekamannya di beberapa acara hajatan, tapi tak pernah melihat langsung. Haji Matadi mainnya pakai gaya Malangan, bahasanya pakai bahasa Jawa Malangan, jika mengatakan kamu pakai bahasa koen. Kalau dalang lain pakai koe, itu sudah kasar," kata Siswanto, penggemar wayang asal Desa Gondanglegi, Kabupaten Malang.

Dalang Haji Matadi dianggapnya sangat jauh berbeda dengan dalang tenar lain seperti Ki Anom Suroto atau Ki Manteb Sudarsono.

"Ki Anom dan Manteb itu wayang Solo, sangat jauh berbeda karakternya. Sekarang, saya tak pernah lagi mendengar Kaji Matadi, kabarnya beliau sudah meninggal, satu lagi ada Ki Sarip juga orang Sengguruh, tapi beliau juga sudah meninggal," ujarnya.