Apa Itu Throning? Istilah Baru Gen Z di 2024
- shutterstock
VIVA – Pernahkah Anda merasa bahwa hubungan asmara semakin sulit untuk dimengerti di era digital ini? Tren kencan selalu berubah, dan kini muncul istilah baru yang mendominasi percakapan generasi muda: throning.
Di tengah tekanan sosial dan pencarian validasi, banyak orang terjebak dalam hubungan yang lebih berorientasi pada status sosial ketimbang koneksi emosional. Fenomena ini semakin relevan di Indonesia, di mana pengaruh media sosial kerap menjadi tolok ukur kesuksesan pribadi.
Banyak individu merasa perlu menjalin hubungan dengan orang yang memiliki status sosial lebih tinggi demi meningkatkan citra diri mereka. Sayangnya, pendekatan ini tidak hanya membawa kebahagiaan semu, tetapi juga dapat berdampak buruk pada kesehatan mental.
Artikel ini akan membahas secara mendalam apa itu throning, bagaimana fenomena ini memengaruhi generasi Z, dan langkah-langkah yang bisa diambil untuk membangun hubungan yang sehat dan autentik.
Apa Itu Throning?
Tahun 2024 membawa berbagai tren unik, terutama di dunia kencan. Salah satu istilah yang sedang naik daun adalah throning, yang menurut laporan Google, menjadi tren kencan paling populer di kalangan Gen Z. Throning dapat diartikan sebagai perilaku mencari pasangan dengan status sosial lebih tinggi atau pengaruh besar untuk meningkatkan citra diri.
Dalam konteks ini, "throne" melambangkan kekuasaan atau pengaruh. Orang yang melakukan throning seringkali mengincar pasangan yang dianggap "berkelas" atau "berkuasa." Fenomena ini lebih dari sekadar istilah; ia mencerminkan perubahan dalam cara orang memandang hubungan di era modern.
Mengapa Throning Menjadi Populer?
Menurut psikolog Divyanshi Prabhakar, throning sering berakar pada masalah harga diri dan kebutuhan akan validasi sosial. Generasi Z, yang tumbuh di era media sosial, kerap merasa tekanan untuk menunjukkan citra ideal. Tidak hanya soal penampilan, tetapi juga siapa yang mereka pilih sebagai pasangan.
Faktor Pendorong Throning:
-
Tekanan Media Sosial: Di Indonesia, platform seperti Instagram dan TikTok sering kali menjadi ajang pamer gaya hidup. Memiliki pasangan dengan status sosial tinggi dapat dianggap sebagai pencapaian yang meningkatkan citra diri.
-
Budaya Konsumerisme: Istilah "gold digger" atau "matre" sudah lama dikenal di masyarakat. Namun, throning memperluas cakupan ini ke arah kekuasaan, popularitas, dan pengaruh, bukan hanya materi.
-
Perubahan Nilai dalam Hubungan: Generasi muda lebih menghargai popularitas dan pengaruh dibandingkan dengan koneksi emosional yang autentik.
Sisi Gelap Throning
Meski terlihat glamor, throning memiliki sisi gelap yang jarang disorot. Berikut adalah beberapa dampaknya:
1. Tekanan untuk Mempertahankan Citra Ideal
Orang yang terlibat dalam throning sering merasa harus terus membuktikan dirinya di depan masyarakat. Hal ini dapat menyebabkan:
-
Stres kronis
-
Kecemasan sosial
-
Gangguan kesehatan mental lainnya
2. Kehilangan Nilai Diri
Dengan menjadikan status sosial pasangan sebagai prioritas, banyak individu kehilangan kesadaran akan nilai intrinsik mereka. Mereka mulai meragukan apakah mereka cukup berharga tanpa validasi dari orang lain.
3. Hubungan yang Tidak Autentik
Ketika hubungan didasarkan pada status sosial, sulit untuk menciptakan koneksi emosional yang tulus. Hal ini dapat menyebabkan hubungan yang rapuh dan tidak bertahan lama.
Throning vs. Gold Digger
Jika di masa lalu istilah "gold digger" digunakan untuk mendeskripsikan hubungan dengan motif finansial, kini throning memperluas cakupan tersebut. Motivasinya mencakup:
-
Materi: Keinginan untuk mendapatkan gaya hidup mewah.
-
Kekuasaan: Mendekati individu dengan pengaruh besar.
-
Popularitas: Menjadi bagian dari lingkaran sosial elit.
Dalam dunia yang serba terhubung, orang tidak lagi hanya ingin "menggali emas," tetapi ingin "duduk di singgasana." Fenomena ini mencerminkan pergeseran nilai dalam hubungan modern.
Bagaimana Menghindari Dampak Negatif Throning?
Untuk membangun hubungan yang sehat, penting bagi individu untuk mengenali nilai intrinsik mereka sendiri. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil:
1. Fokus pada Koneksi Emosional
Prioritaskan hubungan yang didasarkan pada rasa hormat, nilai bersama, dan koneksi yang autentik. Hindari menilai seseorang hanya dari status sosial atau pencapaian material mereka. Sebaliknya, carilah pasangan yang memahami dan mendukung Anda sebagai individu.
Luangkan waktu untuk membangun komunikasi yang jujur dan terbuka. Dengan cara ini, hubungan Anda tidak hanya akan lebih stabil, tetapi juga lebih memuaskan secara emosional.
2. Kurangi Tekanan Media Sosial
Media sosial sering kali menjadi faktor utama yang memperburuk tekanan untuk tampil sempurna. Batasi waktu yang Anda habiskan di platform tersebut dan hindari membandingkan kehidupan Anda dengan orang lain. Cobalah untuk lebih fokus pada kehidupan nyata dan kebahagiaan sejati.
Anda juga dapat melakukan "detoks media sosial" secara berkala, di mana Anda mengambil jeda dari platform untuk merenungkan prioritas dan tujuan hidup Anda.
3. Bangun Harga Diri
Kenali bahwa Anda memiliki nilai yang tidak bergantung pada status sosial pasangan. Berlatihlah untuk menghargai diri sendiri dengan menerima kekuatan dan kelemahan Anda. Hal ini dapat dilakukan melalui:
-
Self-reflection: Catat pencapaian Anda dan hal-hal yang membuat Anda bangga.
-
Mengikuti kegiatan positif: Ikut serta dalam aktivitas yang meningkatkan keterampilan dan kepercayaan diri Anda.
-
Dukungan profesional: Jika Anda merasa sulit membangun harga diri, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan psikolog atau konselor.
4. Edukasi Diri tentang Hubungan Sehat
Pelajari tanda-tanda hubungan yang sehat, seperti komunikasi yang jujur, saling mendukung, dan rasa hormat. Hindari hubungan yang didasarkan pada manipulasi atau ketergantungan emosional.
Anda dapat membaca buku, mengikuti seminar, atau bergabung dengan komunitas yang fokus pada pengembangan diri dan hubungan sehat. Edukasi diri ini akan membantu Anda membuat keputusan yang lebih bijak dalam memilih pasangan.
5. Ciptakan Lingkungan yang Mendukung
Dikelilingi oleh orang-orang yang positif dan mendukung dapat membantu Anda mempertahankan perspektif yang sehat dalam membangun hubungan. Teman dan keluarga yang baik akan mengingatkan Anda tentang pentingnya nilai intrinsik dan cinta yang autentik.
Dengan mengikuti langkah-langkah ini, Anda dapat menghindari jebakan throning dan membangun hubungan yang lebih bermakna dan memuaskan.
Throning adalah fenomena baru yang mencerminkan kompleksitas hubungan di era modern. Meski terlihat menarik, pendekatan ini memiliki sisi gelap yang dapat memengaruhi kesehatan mental dan kualitas hubungan.
Untuk Gen Z di Indonesia, penting untuk memahami bahwa nilai diri tidak ditentukan oleh siapa pasangan Anda. Dengan mengutamakan koneksi emosional yang autentik dan menghargai diri sendiri, Anda dapat menciptakan hubungan yang lebih bermakna dan memuaskan.
Tren mungkin datang dan pergi, tetapi prinsip-prinsip dasar hubungan sehat akan selalu relevan. Jadi, sebelum Anda terjebak dalam throning, tanyakan pada diri sendiri: Apakah ini benar-benar membawa kebahagiaan, atau hanya ilusi sementara?