Quiet Quitting: Tren Baru yang Mengubah Budaya Kerja Modern dan Work-Life Balance

Ilustrasi Gen Z yang Menerapkan Quiet Quitting
Sumber :
  • Pexels.com

VIVA – Selama bertahun-tahun, kita sering mendengar ungkapan "kerja keras adalah kunci sukses." Gagasan ini begitu mengakar hingga membuat banyak pekerja mengorbankan waktu istirahat, bahkan kehidupan pribadinya, demi mengejar karier.

Fenomena ini semakin populer dengan istilah hustle culture, di mana kesuksesan diukur dari seberapa banyak dan seberapa keras seseorang bekerja. Namun, di tengah tekanan kerja yang semakin intens, lahir sebuah tren baru di kalangan pekerja muda, terutama generasi Z,yang disebut quiet quitting. Tapi apakah quiet quitting hanya sebuah bentuk perlawanan terhadap hustle culture, atau lebih dari itu?

Apa Itu Quiet Quitting?

Quiet quitting, secara sederhana, adalah bekerja sesuai dengan deskripsi pekerjaan yang sudah ditetapkan. Tidak lebih, tidak kurang. Pekerja tetap memenuhi tanggung jawabnya selama jam kerja, tetapi menolak untuk mengambil tugas tambahan di luar porsi yang sudah disepakati tanpa kompensasi. Tidak ada lembur yang tidak dibayar, tidak ada pesan-pesan pekerjaan di luar jam kerja yang direspon. Ini adalah bentuk pengaturan batasan yang tegas antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi.

Namun, quiet quitting bukanlah tindakan mundur dari pekerjaan. Para pekerja ini masih melakukan pekerjaannya dengan baik, tetapi mereka menolak untuk menjadi bagian dari budaya yang menuntut lebih dari yang telah ditetapkan tanpa adanya imbalan yang sesuai. Tren ini dianggap sebagai respons terhadap kelelahan dan stres yang sering muncul dalam budaya kerja modern.

Lahir dari Kejenuhan dan Stres

Pandemi COVID-19 membawa perubahan besar dalam cara kita bekerja. Pekerja di seluruh dunia dipaksa untuk beradaptasi dengan pola kerja jarak jauh atau WFH (Work From Home), yang pada awalnya dianggap sebagai solusi fleksibel. Namun, bagi banyak pekerja, batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi menjadi kabur, menciptakan tekanan tambahan.

Pekerja yang terjebak dalam pola kerja yang berlebihan tanpa adanya penghargaan yang memadai mulai mengalami burnout. Kelelahan fisik dan mental ini memicu munculnya quiet quitting sebagai bentuk perlindungan diri. Generasi Z, yang dikenal lebih vokal dalam memperjuangkan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi (work-life balance), menjadi pelopor dalam gerakan ini.

Apakah Quiet Quitting Efektif?

Bagi sebagian pekerja, quiet quitting memberikan ruang untuk bernapas dan fokus pada keseimbangan hidup. Mereka tidak lagi merasa harus "hidup untuk bekerja" dan dapat lebih menikmati waktu di luar pekerjaan. Namun, bagi perusahaan, fenomena ini sering kali dianggap negatif karena dinilai dapat mengurangi produktivitas.

Faktanya, sebuah studi di Amerika Serikat menunjukkan adanya penurunan produktivitas sebesar 2,5% pada kuartal kedua 2022. Beberapa perusahaan, seperti Google, bahkan mempertimbangkan opsi untuk melakukan PHK terhadap pekerja yang dinilai tidak memberikan kontribusi maksimal.

Namun, tren ini tidak selamanya memberikan dampak buruk. Di Selandia Baru, sebuah perusahaan bernama Perpetual Guardian melakukan eksperimen dengan menerapkan kerja empat hari seminggu. Hasilnya, pekerja melaporkan peningkatan produktivitas, efisiensi, dan keseimbangan hidup. Eksperimen ini menunjukkan bahwa menjaga batasan dalam bekerja bukan hanya menambah kualitas hidup, tetapi juga dapat meningkatkan hasil kerja.

Apakah Quiet Quitting Merusak Karier?

Sebuah laporan dari Gallup pada tahun 2022 menunjukkan bahwa keterlibatan pekerja di seluruh dunia mulai menurun, dan ini dikaitkan dengan tren quiet quitting. Menurut data tersebut, hanya 32% pekerja di Amerika Serikat yang mengaku benar-benar terlibat dalam pekerjaan mereka, sementara sisanya cenderung bekerja dengan tingkat keterlibatan yang lebih rendah. Para ahli mengaitkan rendahnya keterlibatan ini dengan kebiasaan bekerja "sesuai porsi" dan menolak tuntutan yang tidak dibayar atau tidak dihargai oleh perusahaan.

Di satu sisi, bekerja hanya sesuai deskripsi pekerjaan bisa dilihat sebagai langkah protektif terhadap burnout, terutama di tengah tekanan pekerjaan yang tinggi. Namun, ada risiko bahwa pekerja yang menerapkan quiet quitting dapat dianggap kurang ambisius atau tidak memiliki semangat untuk "melangkah lebih jauh," yang bisa berdampak negatif pada prospek promosi atau pengembangan karier.

Bahkan, dalam sebuah survei yang dilakukan oleh SHRM (Society for Human Resource Management), sekitar 61% eksekutif perusahaan menyatakan bahwa pekerja yang melakukan quiet quitting cenderung menjadi prioritas utama untuk PHK jika terjadi pengurangan tenaga kerja.

Namun, penting juga untuk dicatat bahwa dampak quiet quitting terhadap karier sangat tergantung pada industri dan budaya kerja masing-masing perusahaan. Di perusahaan yang menghargai keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan, quiet quitting mungkin tidak dilihat sebagai hal negatif.

Secara keseluruhan, quiet quitting bisa menjadi pedang bermata dua bagi karier. Di satu sisi, ini bisa melindungi pekerja dari kelelahan, tetapi di sisi lain, bisa dilihat sebagai kurangnya komitmen, yang berpotensi memengaruhi prospek karier mereka di masa depan.
 

Quiet Quitting dan Budaya Kerja di Masa Depan

Fenomena quiet quitting mencerminkan pergeseran nilai dalam dunia kerja. Generasi muda mulai menuntut kondisi kerja yang lebih manusiawi, di mana pekerjaan tidak lagi menjadi satu-satunya penentu nilai diri seseorang. Keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi menjadi prioritas utama.

Bagi perusahaan yang masih menganut hustle culture, tren ini bisa menjadi alarm. Mereka harus menyadari bahwa mendorong karyawan hingga ke titik kelelahan tidak selalu menghasilkan produktivitas yang optimal. Sebaliknya, menjaga keseimbangan dan memberi penghargaan yang setimpal untuk pekerjaan ekstra justru dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat dan produktif.

Quiet Quitting, Antara Gaya Hidup dan Pilihan Bijak

Quiet quitting mungkin terlihat sebagai sikap pasif atau bahkan "malas" di mata sebagian orang. Namun, bagi banyak pekerja, ini adalah bentuk perlawanan terhadap ekspektasi yang tidak masuk akal dan tuntutan berlebih dalam dunia kerja modern. Dalam era di mana burnout semakin umum, mungkin sudah saatnya kita mengubah cara pandang kita terhadap pekerjaan. Produktivitas tidak selalu berarti bekerja tanpa henti. Justru dengan menjaga keseimbangan hidup, kita dapat bekerja lebih cerdas dan efisien.

Quiet quitting bukanlah akhir dari semangat bekerja keras. Sebaliknya, ini adalah awal dari pemikiran bahwa hidup tidak hanya untuk pekerjaan, tetapi juga untuk dinikmati.