Harapan Baru di Balik Kegagalan Timnas Indonesia
- FOTO/Wahyu Putro A
VIVA.co.id – Tim nasional Indonesia gagal menciptakan sejarah dengan menjadi juara Piala AFF untuk pertama kalinya. Di partai puncak, Skuat Garuda dipaksa menyerah dengan agregat 2-3 dari Thailand.
Penyesalan mendalam tentu saja membekas karena kegagalan ini. Harapan publik Tanah Air melihat tim kebanggaan mengangkat trofi juara di final kelima sepanjang sejarah tampilnya Indonesia di Piala AFF sirna begitu saja.
Kemenangan 2-1 di leg pertama yang berlangsung di Stadion Pakansari, Cibinong sempat memunculkan asa. Namun, di final leg kedua yang berlangsung di Rajamangala Stadium, Bangkok, Boaz Solossa dan kawan-kawan dibuat tak berkutik hingga menyerah 0-2.
Tidak berkembangnya skema bertahan 4-5-1 yang diterapkan Alfred Riedl untuk anak asuhnya tak lepas dari buruknya cara pemain dalam membangun serangan balik. Mereka lebih banyak melepaskan tendangan jauh ke lini depan, yang seringkali mudah dipatahkan pemain Thailand.
"Anak-anak kelelahan setelah bermain lebih menyerang di babak kedua. Kami sulit membongkar pertahanan Thailand. Ketika Anda harus bangkit dari angka nol, sulit bermain untuk menciptakan serangan yang bagus demi mendapat peluang," kata Riedl usai pertandingan.
Catatan statistiki pertandingan menunjukkan betapa digdayanya Thailand atas Indonesia di final leg kedua lalu. Bahkan untuk urusan menciptakan peluang, Skuat Garuda amat buruk. Mereka memiliki tiga kesempatan untuk membobol gawang lawan, namun tak ada satu pun yang mengarah tepat sasaran.
Sedangkan bagi The Elephants War, selain melakukan penguasaan bola mencapai 56 persen, mereka juga punya delapan peluang yang efektif dimanfaatkan. Karena total ada lima yang sukses mencapai sasaran, dan dua di antaranya dikonversi menjadi gol oleh Siroch Chatthong.
Kegagalan yang Munculkan Harapan Baru
Tak bisa dipungkiri, persiapan Skuat Garuda menuju Piala AFF 2016 ini penuh dengan berbagai masalah. Sempitnya waktu yang dimiliki oleh Riedl untuk menggelar pemusatan latihan masih ditambah dengan pembatasan maksimal hanya boleh mengambil dua pemain dari setiap klub.
Juru taktik asal Austria tersebut mesti pintar-pintar memutar otak. Mencari pemain yang cocok untuk strategi yang diterapkannya, dan harus rela tidak memanggil pemain yang sebenarnya sedang dalam performa terbaik bersama klub masing-masing di ajang Torabika Soccer Championship.
Masalah lainnya muncul hanya beberapa hari jelang keberangkatan ke Filipina guna bertarung di fase Grup A. Striker andalan Skuat Garuda, Irfan Bachdim tak bisa ikut karena mengalami cedera engkel dalam sesi latihan terakhir yang berlangsung di Lapangan Sekolah Pelita Harapan, Karawaci, Tangerang.
Namun, dengan adanya masalah-masalah tersebut, Indonesia sukses menembus babak final ajang dua tahunan Asia Tenggara. Semangat dan militansi dalam bermain yang ditunjukkan oleh para penggawa timnas mampu mematahkan prediksi yang meragukan mereka bisa melangkah jauh di Piala AFF 2016.
Sebagai juru taktik, Riedl pun melihat munculnya optimisme baru. Dia menilai, dalam dua tahun ke depan, andai proses pembinaan digarap secara serius oleh PSSI selaku federasi yang menaungi sepakbola Indonesia, maka level Thailand pun masih mungkin untuk disamai.
"Ini momentum yang sangat baik untuk tim ini untuk kembali bangkit. Kerjasama ini terasa luar biasa dibanding dengan event-event sebelumnya," tegas pria berusia 67 tahun tersebut.
Hal senada juga dilontarkan oleh Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Imam Nahrawi. Dia amat yakin ke depan sepakbola Indonesia mampu berbicara banyak di kancah internasional. "Dengan pencapaian ini maka pemerintah yakin bahwa kedepannya timnas kita akan terus berupaya mengukir sejarah," ucapnya.
Animo masyarakat dalam mendukung Skuat Garuda berjuang di Piala AFF 2016 patut mendapatkan apresiasi tinggi. Mereka tak kenal lelah memberi dukungan kepada para pemain di final leg pertama lalu. Tertinggal 1-0 di babak pertama, para suporter tetap semangat, dan dibayar tuntas oleh para pemain dengan berbalik unggul menjadi 2-1.
"Kita berhasil menyatukan seluruh masyarakat Indonesia bersama dan ini hanya terjadi di sepakbola dan saya sangat bangga atas hal tersebut. Kita tidak butuh Piala AFF dan semacamnya, yang kita butuhkan adalah kecintaan dan perjuangan sampai mati untuk membuat negeri lebih baik dalam segala hal," ungkap gelandang timnas Indonesia, Stefano Lilipaly.
"Kita semua bersatu di sini dan kami semua berdiri bersama. Saya merasa sangat bangga menjadi orang Indonesia. Kita tunjukkan pada semua, siapa kita. Indonesia," imbuh pemain berdarah Belanda tersebut.
Pernyataan Lilipaly tersebut membuat perasaan masyarakat tergugah. Saat sedang berjuang merengkuh prestasi, kondisi sosial Tanah Air sedang dalam kondisi tidak bagus. Perpecahan yang menyinggung perbedaan keyakinan agama dan politik sedang ramai-ramainya.
Bahkan ada beberapa pihak yang sengaja menggunakan perjuangan timnas Indonesia sebagai alat propaganda. Mulai dari yang positif mengenai perbedaan latar belakang pemain, sampai mengungkit-ungkit perbedaan secara satir hanya demi memberi sindiran kepada mereka yang berbeda pandangan.
Permintaan Maaf kepada Para Suporter
Sesaat setelah wasit meniupkan peluit tanda 90 menit waktu pertandingan final leg kedua Piala AFF 2016, para pemain Indonesia tertunduk lesu. Mereka tak kuasa menahan air mata meluncur deras. Kekecewaan berat dialami oleh para pemain, karena tak mampu memenuhi ekspektasi para suporter.
Perjuangan berat yang mereka lalui tanpa mengenal rasa lelah terasa semakin mendalam. Harapan publik Indonesia bisa mencetak sejarah pada 2016 ini tak bisa mereka penuhi. "Saya mohon maaf kepada semuanya, karena kami belum bisa membawa pulang piala itu,” tutur Lilipaly.
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Umum PSSI, Edy Rahmayadi. Pria berpangkat Letnan Jenderal (TNI) tersebut tak sungkan mengungkapkan permintaan maaf begitu tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang pada Minggu 18 Desember 2016.
"Yang pertama, saya mohon maaf kepada rakyat Indonesia. Saya tahu persis bagaimana harapan itu. Kita tahu Thailand lebih baik dari kita, tapi semangat anak-anak patut diberikan apresiasi," ungkap Edi.
Suporter rasanya tak banyak yang merasa kecewa dan lantas kesal karena kegagalan timnas Indonesia kali ini. Mereka selalu siap memberi dukungan kepada Skuat Garuda baik ketika sedang kalah bertanding sekali pun. Jarak jauh tak jadi masalah bagi mereka untuk memberi dukungan langsung ke stadion.
Namun, ada satu pekerjaan rumah bagi pengurus PSSI dan juga panitia pelaksana pertandingan ketika Indonesia menjadi tuan rumah. Dalam dua kesempatan terakhir, yakni semifinal dan final leg pertama, para suporter lebih banyak menjadi korban karena hak mereka tak mampu dipenuhi dengan baik.
Setelah susah payah mengantre tiket dengan cara berdesakan, mereka juga harus menerima kenyataan tidak mendapatkan hak seharusnya. Setiap pertandingan yang berlangsung di Stadion Pakansari lalu, masih ada saja mereka yang memegang tiket justru tidak bisa masuk ke dalam tribun meski pertandingan sudah bergulir.
Pihak keamanan dan panitia pelaksana beralasan, tribun yang ingin mereka masuki sudah melebihi kapasitas. Menjadi tidak masuk akal memang, karena Stadion Pakansari sudah menggunakan sistem bangku tunggal (single seater), sehingga dapat dipastikan mereka yang memegang tiket bakal mendapatkan tempat duduk.
Yang terjadi justru sebaliknya. Ketika sudah dipersilahkan masuk saat pertandingan turun minum. Mereka tidak mendapatkan tempat duduk. Berdiri di lorong, dan bergelantungan di besi pembatas menjadi pilihan. Semua itu mereka lakukan dengan sepenuh hati dan dengan satu alasan; Mencintai timnas Indonesia!